Fokus Opini

Ketika Pendidikan Digadaiakan di Altar Kapitalisme

×

Ketika Pendidikan Digadaiakan di Altar Kapitalisme

Share this article

Penulis: Ledang Surya Putra (Mahasiswa Universitas Mataram)


UNTUK mengawali tulisan ini, penulis memiliki sebuah kisah percakapan seorang anak dengan orang tuanya yang baru saja diterima di perguruan tinggi.

“Bu, Yah, aku keterima kuliah!”
Suara Rian berdengung di ruang tamu sempit rumah kontrakan keluarga Sutrisno. Mata ibunya sejenak berbinar, sebelum akhirnya redup persis lampu yang voltasenya turun. Pak Sutrisno yang tengah menambal sepatu, profesi sampingan demi menambah penghasilan sebagai buruh pabrik, mengangkat kepala bersama senyum yang rumit dibaca.

“Syukurlah, Nak. Ayah bangga”. Suaranya bergetar, terselak di pertengahan bahagia dan was-was.

“Tapi Bu, Yah, biaya persemesternya 12 juta. Itu belum biaya hidup di sana”.

Sunyi kemudian menggantung persis kabut tebal. Ibu mengusap air mata yang mulai menggenang. Dua puluh tahun ia menabung receh demi receh dari hasil jualan gorengan, bermimpi suatu hari anaknya bisa kuliah. Kini mimpi itu ada di depan mata, tapi sekaligus terasa begitu jauh.

“Nanti Ibu dan Ayah carikan cara, Nak. Ibu jual kalung emas, atau… pinjam ke tetangga dulu”.

YAP! Dialog ini terulang di ribuan rumah Indonesia setiap tahun. Setiap kali pengumuman kelulusan PTN, setiap kali mimpi bertemu realitas pahit komersialisasi pendidikan. Padahal, mencerdaskan kehidupan bangsa, begitu bunyi amanat konstitusi yang dikumandangkan para pendiri bangsa dengan binar keyakinan yang penuh.

Mereka yang pernah merasakan pahitnya kebodohan di bawah penjajahan, mereka yang memahami bahwa pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk membebaskan bangsa dari belenggu keterbelakangan. Tapi lihatlah ironi hari ini, pendidikan justru menjadi belenggu baru, membelenggu anak bangsa dalam jerat utang dan eksklusivitas kelas.


Kita sedang menyaksikan pembajakan terhadap misi suci pendidikan, yang dulunya altar pencerahan, kini telah disimsalabim menjadi kasino kapitalis di mana tiket masuknya adalah rekening bank yang tebal. Universitas-universitas negeri yang seharusnya menjadi rumah bagi seluruh anak bangsa, kini berlagak seperti klub negara yang ekslusif.

“Maaf, hanya untuk member yang mampu membayar iuran mahal”.


Mari kita bongkar kedok manis di balik eufemisme otonomi kampus dan perguruan tinggi berbadan hukum. Mari jujur, siapa yang percaya hal ini adalah otonomi? Bukannya ini adalah privatisasi terselubung? Tidak perlu berpikir terlalu mendalam untuk menyadari bahwa ini bukan modernisasi, ini adalah kapitulasi negara terhadap logika pasar bebas.

Ketika ITB, UI, UGM, dan kawanan PTNBH lainnya diminta untuk mandiri finansial, apa bedanya mereka dengan korporat-korporat yang, memang sejatinya, terang-terangan mencari profit?

Sutrisno si buruh pabrik tadi tidak akan pernah memahami jargon-jargon akademis tentang efisiensi anggaran atau tata kelola modern. Yang ia tahu, negara yang selama ini ia bayari pajak dari gaji pas-pasannya, tiba-tiba berkata: “Maaf, Pak, kalau mau anak Bapak kuliah, wani piro?”


Dan ya, betapa ironisnya, di negeri yang katanya berideologi Pancasila ini, pendidikan justru menjadi ajang Darwinisme sosial paling kejam. Yang kuat secara finansial akan survive dan thrive, yang lemah akan tersingkir atau terpaksa menjadi budak utang pendidikan. Meritokrasi yang kita agung-agungkan ternyata hanyalah kedok dari plutokrasi—kekuasaan uang dalam membentuk masa depan.


Bandingkan dengan Amerika, sang kapitalis sejati yang justru lebih jujur dalam permainannya. Ketika mereka mengenakan tarif kuliah hingga 700 juta rupiah per tahun (berdasarkan data Harvard College & Student Financial Center), mereka tidak berpura-pura idealis. Mereka tahu ini bisnis, dan mereka menjalankannya dengan total. Harvard, Stanford, MIT, mereka memang mahal, tetapi lulusannya dijamin dapat pekerjaan dengan gaji starting 1-2 miliar rupiah per tahun di Silicon Valley.


Sistem financial aid mereka pun tidak tanggung-tanggung. Federal grants, student loans dengan bunga rendah, work-study programs (berdasarkan data Federal Student Aid), semua dirancang untuk memastikan bahwa investasi pendidikan menghasilkan return yang sepadan. Ketika seorang mahasiswa lulus dari universitas top Amerika, dia tidak akan menjadi pengangguran intelektual yang frustrasi. Pasar kerja mereka sudah siap menyerap dengan kompensasi yang adil.


Sebaliknya, di Indonesia, kita mengadopsi tarif ala Amerika tapi dengan jaminan ala Somalia. Mahasiswa diminta membayar puluhan juta untuk kuliah, lalu setelah lulus dibiarkan berkeliaran mencari kerja dengan gaji UMR. Ini bukan hanya komersialisasi, ini adalah penipuan berjamaah yang disponsori negara.


Lebih sadis lagi, komersialisasi pendidikan kita bahkan tidak disertai peningkatan kualitas yang signifikan. Dosen-dosen masih berkutat dengan metodologi zaman Soeharto, laboratorium masih seadanya, perpustakaan masih miskin koleksi. Tapi tarif naik terus, seolah-olah inflasi biaya otomatis berbanding lurus dengan inflasi kualitas. HUH!

Bayangkan Rian, si anak buruh tadi, yang akhirnya nekat kuliah dengan biaya hasil gadai rumah dan utang ke rentenir. Empat tahun kemudian, dia lulus dengan gelar sarjana dan tumpukan utang 200 juta rupiah. Lalu dia melamar kerja, bersaing dengan ribuan lulusan lain untuk mendapat gaji 4 juta per bulan. Berapa tahun dia harus bekerja untuk melunasi utang pendidikannya? Berapa lama dia harus hidup dalam jeratan utang?
Mari kita sebut ini sebagai jebakan gelar tanpa masa depan, kondisi di mana kemiskinan terdidik dilegitimasi oleh sistem. Mereka pintar, bergelar, tapi miskin karena terjerat utang pendidikan. Mereka tidak bisa entrepreneurship karena modalnya sudah habis untuk kuliah.

Mereka tidak bisa ambil risiko karier karena harus segera bayar cicilan. Mereka terjebak dalam zona aman pekerjaan bergaji rendah, menjadi budak kerah putih dalam sistem kapitalis pendidikan.
Dan yang paling menyakitkan, komersialisasi ini telah mengubah esensi pendidikan dari transformasi intelektual menjadi transaksi komersial. Mahasiswa tidak lagi datang ke kampus untuk mencari ilmu dan kebijaksanaan, tapi untuk beli ijazah dan sertifikat. Dosen tidak lagi menjadi mentor dan guru, tapi service provider yang harus memuaskan customer.
Relasi pedagogis yang seharusnya sarat dengan kritisisme dan dialektika, kini tereduksi menjadi hubungan bisnis yang pragmatis. “Saya sudah bayar mahal, jadi saya harus dapat nilai A”, begitu logika mahasiswa yang telah terkomodifikasi. “Jangan terlalu strict, nanti mahasiswa komplain dan rating kita turun”, begitu pesan implisit dari manajemen kampus kepada dosen.


Akibatnya, kampus-kampus kita menjadi pabrik gelar, bukan laboratorium pemikiran. Mereka memproduksi lulusan yang conformist, bukan intelektual yang kritis. Mereka melahirkan pekerja yang patuh, bukan inovator yang berani. Inilah ironi terbesar dari komersialisasi pendidikan: semakin mahal biayanya, semakin dangkal outputnya.


Bahasa pun ikut terkorupsi dalam proses ini. Peserta didik berganti menjadi customer. Proses pembelajaran menjadi layanan pendidikan. Pengabdian pada ilmu menjadi return on investment. Pergeseran terminologi ini bukan sekadar kosmetik, tapi refleksi dari transformasi paradigma yang lebih dalam.


Ketika mahasiswa diperlakukan sebagai customer, maka customer is always right menjadi prinsip yang berlaku. Padahal dalam pendidikan, mahasiswa seringkali salah dan tugas dosen adalah mengoreksi kesalahan itu. Ketika pendidikan diperlakukan sebagai layanan, maka kepuasan customer menjadi parameter utama. Padahal pendidikan yang baik seringkali membuat mahasiswa tidak nyaman karena harus keluar dari zona nyaman mentalnya.


Komodifikasi bahasa ini pada akhirnya mengkomodifikasi pikiran. Generasi yang tumbuh dalam diskursus komersialisasi pendidikan akan melihat segala sesuatu dari kacamata cost-benefit analysis. Ilmu pengetahuan dinilai dari potensi ekonomisnya, bukan dari nilai intrinsiknya sebagai pencerahan. Riset diarahkan untuk menghasilkan profit, bukan untuk menghasilkan kelayakan.


Yang lebih berbahaya lagi, komersialisasi ini akan mengikis semangat solidaritas dan kewajiban sipil. Ketika pendidikan diperlakukan sebagai investasi individual, lulusan akan merasa berhak atas privilege individual tanpa merasa berkewajiban untuk berkontribusi pada kemajuan kolektif. Mereka akan menjadi individualis-materialistis yang antitesis dari cita-cita pendidikan nasional.


Bayangkan dokter yang kuliah dengan biaya ratusan juta, lalu merasa berhak mengenakan tarif konsultasi yang mahal untuk balik modal. Bayangkan sarjana yang merasa tidak perlu membangun infrastruktur di daerah terpencil karena investasi pendidikannya belum return. Bayangkan guru yang hanya mau mengajar di sekolah elite karena gaji di sekolah biasa tidak sebanding dengan biaya kuliahnya.


Inilah generasi yang akan dilahirkan oleh sistem komersialisasi pendidikan: generasi yang terdidik tapi tidak berperadaban, generasi yang pintar tapi tidak bijaksana, generasi yang bergelar tapi tidak berkarakter.


Lantas, apakah tidak ada jalan keluar dari labirin komersialisasi ini?


Tentu ada, tapi butuh keberanian politik untuk melawan arus neoliberalisme global. Pemerintah harus kembali ke khittah konstitusional: pendidikan adalah tanggung jawab negara, bukan swasta atau individu. Anggaran 20 persen untuk pendidikan bukan sekadar angka di APBN, tapi komitmen politik untuk membebaskan anak bangsa dari jeratan utang pendidikan.


Perguruan tinggi negeri harus dikembalikan ke misi asalnya: melayani seluruh anak bangsa tanpa diskriminasi ekonomi. Status PTNBH harus dievaluasi ulang karena pada praktiknya hanya melegalkan privatisasi terselubung.


Kampus-kampus negeri harus dibiayai penuh oleh negara sehingga mahasiswa hanya perlu fokus pada proses pembelajaran, bukan pada cicilan UKT. Tapi perubahan struktural ini tidak akan terjadi tanpa tekanan massal dari masyarakat sipil. Mahasiswa, dosen, orang tua, dan seluruh komponen masyarakat harus bersatu melawan komersialisasi pendidikan. Diperlukan gerakan counter-hegemony yang sistematis untuk merebut kembali narasi pendidikan dari cengkeraman kapitalisme.


Sutrisno si buruh pabrik dan jutaan orang tua lainnya tidak seharusnya menggadaikan rumah untuk menyekolahkan anak. Rian dan jutaan anak bangsa lainnya tidak seharusnya memulai hidup dengan tumpukan utang pendidikan. Mereka adalah aset bangsa yang harus dipelihara dan dikembangkan oleh negara, bukan komoditas yang diperjualbelikan oleh pasar.


Pendidikan terlalu mulia untuk diserahkan kepada mekanisme pasar. Pendidikan terlalu penting untuk dijadikan ajang bisnis. Pendidikan adalah hak asasi manusia yang harus dijamin oleh negara, bukan privilege yang harus dibeli dengan uang.

Saatnya kita teriakkan “JANGAN GITU WOI!” pada komersialisasi pendidikan. Saatnya kita kembalikan pendidikan kepada misi mulianya: mencerdaskan kehidupan bangsa, tanpa pandang bulu, tanpa diskriminasi kelas, tanpa jeratan utang.
Guys, masa depan bangsa terlalu berharga untuk digadaikan di altar kapitalisme pendidikan.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *