LOMBIK TIMUR | FMI – Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) menjadi sorotan, bermula dari Bupati Pati, Sudewo yang didemo warganya akibat melambungnya tarif PBB hingga 250 persen.
Tak cuma Kabupaten Pati, beberapa daerah dari Pulau Jawa hingga kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) disebut-sebut menaikkan PBB P-2. Bahkan dari tahun 2024 lalu.
Naiknya tarif pajak PBB di Lombok Timur dikarenakan adanya penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Kenaikan tersebut berdasarkan Perbup 31/ 2023 tentang NJOP. Perda baru nomor 6 2023 tentang pajak daerah dan adanya Perbup Nomor 9 tahun 2024 tentang PBB.
Namun Bupati Lombok Timur membantah kenaikan tarif PBB-P2, justru dia mengambil kebijakan berbeda, menggratiskan PBB bagi masyarakat kurang mampu.
“Setiap petugas harus mengedepankan prinsip SMART. Artinya, bagi masyarakat yang rumahnya kurang bagus dan pajaknya hanya Rp50 ribu atau Rp100 ribu, saya minta untuk jangan ditarik, biarkan saja,” tegas Haerul Warisin.
Terhadap warga yang keberatan dengan besaran PBB atau merasa kesulitan membayar, Bupati membuka ruang pengaduan. Ia menyatakan kesiapan mengevaluasi ulang besaran pajak secara proporsional.
“Kalau ada permintaan evaluasi, kami siap lakukan peninjauan. Intinya, saya tidak ingin merugikan masyarakat,” pungkasnya.
Sementara salah satu kepala wilayah (Kawil) di Jerowaru menegaskan, statmen Bupati yang mengatakan gratis PBB bagi masyarakat tidak mampu belum jelas, fakta di lapangan bertolak belakang. Petugas Penagih Pajak (Opjar) terus menagih PBB-P2 kepada seluruh Wajib Pajak, termasuk warga kurang mampu, tanpa pengecualian.
“Masyarakat yang mempunyai pajak PBB sebesar Rp50.000 hingga Rp100.000 masih ditagih. Bahkan penghapusan tonggakan warga miskin juga tidak terbukti, karena di lapangan masyarakat tetap bayar,” kata sosok Kawil yang enggan disebut namanya.
Dikatakannya, Bupati menyampaikan bahwa kenaikan PBB bukan atas perintah Bupati melainkan hasil LHP BPK yang kemudian tidak sejalan dengan luas lahan dengan jumlah yang di keluarkan wajib pajak. “Misal 55.000 menjadi 450.000. Ini kan aneh,” ujarnya.
Sementara yang punya kewenangan sekala daerah adalah Bupati, kata dia, maka harus jelas regulasi yang di jalankan pemerintah. “Jangan sampai semua sembuyi tangan dengan argumen pembenaran,” ketusnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa dalam menaikkan pajak PBB, pemerintah daerah harus mempertimbangkan beberapa faktor, seperti kondisi ekonomi daerah, kebutuhan anggaran daerah dan lemampuan masyarakat untuk membayar pajak.
“Pemerintah daerah juga harus melakukan sosialisasi dan transparansi dalam menaikkan PBB, sehingga masyarakat dapat memahami alasan dan dampak kenaikan pajak tersebut,” jelasnya.***
Bupati Lotim Gratiskan Warga Miskin PBB-P2, Kawil ini Sebut Bertolak Belakang dengan Fakta Lapangan
