LOMBOK TIMUR

Mendagri Singgung Polemik Pati Lantaran NJOP Naik, di Lombok Timur LK2T dan GEMPA Mulai Galang Massa

×

Mendagri Singgung Polemik Pati Lantaran NJOP Naik, di Lombok Timur LK2T dan GEMPA Mulai Galang Massa

Share this article

LOMBOK TIMUR | FMI – Gejolak penolakan terhadap kebijakan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) bermunculan di sejumlah daerah setelah kisruh yang terjadi di Pati, Jawa Tengah, lantaran pemerintah daerah setempat langsung menaikkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) setelah 14 tahun tidak ada penyesuaian.

Gejolak itu merembet hingga ke kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), bahkan seminggu terakhir bebrapa kelompok masyarakat mulai menyoroti tarif PBB-P2. Mereka mulai melakukan konsolidasi dan menampung keluhan warga di sejumlah kecamatan.

Salah satunya Lembaga Kajian Kebijakan dan Transparansi (LK2T) Lombok Timur mendesak Bupati Lombok Timur meninjau ulang kenaikan PBB-P2 2024. Lembaga ini menilai kenaikan tersebut mencekik rakyat.

Direktur Eksekutif LK2T, Dr. Karomi, mengungkapkan hasil kajian lembaganya dari beberapa data yang diterima dari warga di sejumlah kecamatan, menunjukkan kenaikan nilai pajak pada beberapa objek pajak mencapai tingkat tidak wajar.

“Pada salah satu objek pajak, nilai PBB yang sebelumnya stabil di Rp 77.165 per tahun, tiba-tiba melambung menjadi Rp 248.101 pada 2024,” jelasnya kepada media baru-baru ini.

Sementara di objek lain, nilai pajak melonjak dari Rp22.198 per tahun menjadi Rp202.011, atau hampir 900 persen.

LK2T menyatakan kenaikan ekstrem 300 peraen hingga 900 persen pada beberapa objek pajak ini terjadi di tengah ekonomi rapuh pascapandemi dan inflasi kebutuhan pokok.

“Lonjakan drastis ini menunjukkan kebijakan fiskal daerah salah arah. Alasan ‘pembangunan’ justru menggerus daya beli rakyat dan mengancam keberlangsungan hidup masyarakat kelas bawah,” tegas Karomi.

Selain LK2T, lembaga gerakan masyarakat menolak pajak 1000 persen (Gempa NTB) mengancam akan menggelar aksi demonstrasi pada september mendatang dengan target massa lebih dari 5.000 orang.

Langkah ini disebut sebagai bentuk perlawanan warga atas kebijakan yang dinilai memberatkan dan tidak berpihak kepada masyarakat kecil.

Gempa juga telah membentuk posko pengaduan di setiap kecamatan untuk menghimpun keluhan warga sekaligus mengorganisir partisipasi masyarakat dalam aksi demonstrasi.

“Kami fokus pada dua tuntutan utama, yakni meminta Bupati Lombok Timur untuk mencopot Sekretaris Daerah dan Kepala Badan Pendapatan Daerah. Kemidian kami akan mendesak agar Perbup Nomor 9 Tahun 2024 tentang PBB segera dicabut,” kata Koordinator Gempa NTB, Hadiyat Dinata baru-baru ini.

Menurut Dinata, alasan pemerintah daerah yang menyebut kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagai dasar lonjakan PBB hanya sekadar “modus”. Ia menilai kebijakan ini justru menciptakan beban baru bagi masyarakat.

“Alasan NJOP naik hanyalah akal-akalan. Faktanya, masyarakat diperas melalui aturan yang tidak berpihak. Kenaikan pajak ini tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi warga yang baru saja pulih pasca pandemi,” tegasnya.

Sekda Lombok Timur, Juaini Taofik dihubungi melalui pesan online, hingga berita ini diterbitkan belum memberikan jawaban.

Sementara itu, Pelaksana Harian (Plh.) Dirjen Bina Keuangan Daerah (Keuda) Kemendagri, Horas Maurits Panjaitan, menjelaskan bahwa polemik di Pati terjadi karena pemerintah daerah langsung menaikkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) setelah 14 tahun tidak ada penyesuaian. Lonjakan yang dilakukan sekaligus membuat kenaikan terlihat sangat drastis.

“Masalahnya ini juga langsung dinaikkan terlalu tinggi, hampir 300 persen. Maka masyarakat menolak. Harusnya kalau hitungnya sekali tiga tahun, kenaikan tidak terlalu besar, maksimal di bawah 15 persen kalau pun naik. Karena itu harus bertahap, melalui kajian dan pengkajian,” katanya dikutip detikFinance dalam Rapat Kerja Komisi II DPR RI di Senayan, Jakarta, Senin (25/8).

Maurits menambahkan, NJOP merupakan komponen penting dalam perhitungan PBB, bersama dengan tarif dan batasan NJOP Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Jika penyesuaian dilakukan sekaligus setelah belasan tahun, dampaknya akan terlihat melonjak hingga ratusan persen.

Kemendagri menyarankan agar kenaikan PBB dilakukan secara bertahap, idealnya sekali dalam tiga tahun. Bahkan dalam UU No. 1 Tahun 2022, kenaikan bisa dilakukan tiap tahun dalam kondisi tertentu, tetapi tetap harus melalui uji publik, sosialisasi, dan pengkajian matang.

“Kalau sudah secara masif memberatkan masyarakat, itu harusnya langsung ditunda atau bahkan dicabut. Tidak perlu langsung dibahas dengan DPRD,” tegas Maurits.

Ia menegaskan bahwa pemerintah daerah juga bisa memberikan keringanan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, termasuk pengurangan tarif, jika kenaikan terbukti menekan daya beli.

Maurits memastikan sejumlah daerah sudah menunda atau mencabut aturan kenaikan PBB. Beberapa di antaranya adalah Bone, Jombang, dan Pati.
Di sisi lain, Mendagri Tito Karnavian meminta dilakukan pemetaan ulang terhadap seluruh kebijakan kenaikan PBB di daerah.

Dalam beberapa pekan terakhir, protes mencuat di berbagai daerah dengan aksi simbolis, termasuk pembayaran pajak menggunakan uang koin sebagai bentuk penolakan warga terhadap lonjakan tarif PBB yang dinilai tidak masuk akal.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *