Penulis : Dr. Karomi, Dosen Universitas Gunung Rinjani (UGR) Lombok Timur
LOMBOK TIMUR 1 September 2025, merupakan hari dan tanggal bersejarah bagi gerakan perjuangan mahasiswa, aktivis dan masyarakat Lombok Timur, dimana pada hari dan tanggal tersebut terjadi sebuah demonstrasi yang digelar aliansi mahasiswa Cipayung Plus yang terdiri dari berbagai organisasi tua dan bersejarah di Indonesia, namun gerakan cipayung Plus di Lombok Timur baru-baru ini menyisakan cerita yang lebih pahit daripada tuntutan yang mereka bawa. Bukan karena gagalnya massa menyuarakan aspirasi, melainkan karena pernyataan seorang pejabat publik yang terkesan merendahkan martabat gerakan mahasiswa. Dengan enteng, perjuangan mahasiswa dipersempit menjadi sekadar soal “nasi bungkus” yang dibagikan setelah aksi.
Kalimat sederhana itu telah menorehkan bekas. Sebab perjuangan mahasiswa bukan hanya soal makanan, tetapi soal marwah gerakan. Aktivisme yang seharusnya berdiri tegak sebagai benteng moral masyarakat, tiba-tiba direduksi seakan-akan bisa ditukar dengan imbalan kecil. Sebagaimana kisa kuda Troya dan kini menjadi ujian bagi demokrasi yang ternodai.
Fenomena ini mengingatkan saya pada legenda Kuda Troya. Dimana Pasukan Yunani, setelah bertahun-tahun mengepung kota Troya, lalu pura-pura menyerah dan meninggalkan patung kuda raksasa sebagai hadiah. Tanpa curiga, orang Troya memasukkan kuda itu ke dalam kota. Malam harinya, pasukan Yunani yang bersembunyi di dalamnya keluar, membuka gerbang, dan menghancurkan kota.
Apa yang terjadi di Lombok Timur tentu berbeda konteks. Tidak ada perang, tidak ada senjata. Tetapi ada kesamaan pola, yaitu kejatuhan bisa datang bukan dari serangan terbuka, melainkan dari sebuah hadiah yang mencederai dari dalam. Jika di Troya hadiah kuda kayu menghancurkan benteng, maka di sini ucapan seorang pejabat mampu meruntuhkan moral dan martabat perjuangan aktivis.
Demonstrasi mahasiswa bukanlah tontonan jalanan. Namun merupakan perwujudan dari hak konstitusional yang dijamin oleh Undang-Undang, sebabgainanna tercantum dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Dalam regulasi itu, jelas ditegaskan bahwa setiap warga negara berhak menyatakan pikiran dan sikap secara bebas, serta pemerintah dan pejabat publik berkewajiban menciptakan iklim kondusif agar hak itu terlaksana.
Artinya, pejabat publik tidak sekadar berwenang mengatur jalannya aksi, tetapi juga berkewajiban menjaga agar ruang demokrasi dihormati. Mengolok-olok, merendahkan, atau menyindir perjuangan mahasiswa berarti melanggar etika demokrasi yang seharusnya dijaga bersama. Apalagi hal itu terjadi di gedung DPRD Lombok Timur, yang merepresentasikan sebagai tempat orang-orang terhormat
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memiliki tiga fungsi utama, yaitu dalam pembentukan peraturan daerah, penganggaran, dan pengawasan. Ketiga fungsi ini hanya bisa berjalan efektif jika DPRD membuka diri terhadap partisipasi masyarakat.
Mahasiswa, sebagai bagian dari masyarakat sipil, menempati posisi strategis dalam memperkuat pengawasan. Mereka membawa aspirasi, data, dan kritik. Jika suara itu diremehkan, maka fungsi pengawasan publik akan melemah. Lebih jauh, pejabat publik yang mengeluarkan pernyataan merendahkan bisa dianggap melanggar prinsip akuntabilitas dan keterbukaan, yang justru menjadi roh utama penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS mewajibkan aparatur negara menjaga martabat instansi dan berperilaku profesional. Pejabat publik dilarang mengeluarkan pernyataan yang merugikan masyarakat atau merusak kepercayaan publik. Maka, pernyataan yang menyinggung aktivis mahasiswa jelas bertentangan dengan norma etik yang melekat pada jabatan.
Mengapa narasi tentang “aktivis nasi bungkus” begitu berbahaya?
Pertama, delegitimasi kritik. Dengan stigma ini, dimana kritik mahasiswa dianggap tidak tulus. Suara-suara mereka dipersepsi sebagai pesanan, bukan sebagai jeritan nurani.
Kedua, pembunuhan moral publik. Jika publik terus-menerus dijejali dengan stigma semacam ini, kepercayaan terhadap gerakan mahasiswa akan memudar. Masyarakat bisa curiga bahwa idealisme dapat digadai dengan imbalan kecil.
Ketiga, kerusakan kepercayaan pada lembaga. DPRD sebagai rumah rakyat semestinya terbuka, tetapi stigma yang lahir dari dalam justru menutup pintu dialog. Pada akhirnya, yang rugi bukan hanya mahasiswa, melainkan juga lembaga legislatif itu sendiri.
Kejadian seperti ini memberi sinyal bahwa demokrasi lokal kita sedang berada di persimpangan. Di satu sisi, ruang kritik masih terbuka, mahasiswa bisa turun ke jalan, menyuarakan tuntutan, bahkan mengawal isu-isu besar seperti kebijakan daerah, anggaran, atau rancangan undang-undang. Namun di sisi lain, ruang itu mulai dipersempit oleh stigma, sinisme, dan candaan publik.
Jika kondisi ini dibiarkan, demokrasi hanya akan menjadi prosedur kosong, ada pemilu, ada dewan, tetapi tidak ada ruang sehat untuk kritik. Aktivisme yang dilecehkan perlahan akan kehilangan daya dorong, dan publik yang kecewa bisa terjebak dalam apatisme.
Lalu apa yang bisa dilakukan?
Pertama, pejabat publik perlu korektif. Bahasa dan sikap pejabat adalah cermin lembaga. Klarifikasi atau permintaan maaf terbuka bukan tanda kelemahan, melainkan bukti penghormatan pada demokrasi.
Kedua, DPRD perlu menyusun standar penerimaan aksi. Mulai dari mekanisme dialog, notulensi tuntutan, hingga tindak lanjut yang dipublikasikan. Hal ini akan menutup ruang tafsir negatif terhadap layanan teknis seperti penyediaan konsumsi atau fasilitas.
Ketiga, mahasiswa harus menjaga integritas dirinya. Gerakan mahasiswa hanya akan dihormati bila teguh pada idealisme. Menolak segala bentuk kompromi pragmatis sebab ini adalah cara terbaik untuk menutup mulut mereka yang meremehkan.
Dengan melakukan ketiga langkah tersebut dapat menjaga wibawa kedua arah baik antara gerakan perjuangan aktivis dengan lembaga negera sebagai simbol etika dan moral selama ini, sebab demokrasi tanpa perjuangan aktivis kritis hanyalah panggung kosong. Dan ktivis tanpa martabat hanyalah keramaian sesaat. Peristiwa di Lombok Timur harus menjadi pengingat bahwa bahasa pejabat bisa lebih tajam dari senjata, karena mampu meruntuhkan kepercayaan publik.
Jangan sampai, seperti orang Troya, kita membuka pintu bagi “kuda” yang justru meruntuhkan rumah demokrasi kita sendiri. Demokrasi hanya bisa tumbuh jika pejabat menghormati kritik, dan aktivis menjaga integritasnya. Dua arah ini harus berjalan beriringan, agar luka moral yang lahir dari peristiwa “nasi bungkus” tidak menjelma menjadi kerapuhan permanen dalam tubuh demokrasi lokal.***