Oleh: Siti Nur Ulifiyah
Peran perempuan dalam ruang publik sampai hari ini masih menjadi diskursus yang sering dibahas. Hal itu, karena sebagian orang masih menganggap itu sebagai sesuatu yang tabu, bahwa perempuan tidak seharusnya bebas di ruang publik. Tetapi, sebagian besar masyarakat lain telah mengakui kebebasan perempuan di ruang publik, karena negara dan agama telah sama-sama memberikan hak tersebut.
Namun, apakah dengan begitu persoalan ini sudah selesai?
Bagi penulis, meskipun kebebasan itu telah diakui. Namun, dogma budaya patriarki masih melekat pada masyarakat kita. Bahwa, masih adanya pola pikir patriarkal tentang peran dan fungsi perempuan di ruang domestiknya. Yakni, perempuan dianggap hanya sebatas partisipan ataupun politik kehadiran semata.
Selain itu, belum terbentuknya kesadaran terhadap kesetaraan gender menjadikan kesempatan yang dibuka tidak terpenuhi dengan maksimal. Hal tersebut, menjadi hambatan bagi perempuan untuk tampil dan mengaktualisasikan perannya di ruang publik.
Dalam Islam, merujuk kepada Al-Quran bahwa Allah menciptakan manusia untuk menjadi pemimpin di dunia (laki-laki dan perempuan), sehingga baik laki-laki maupun perempuan berhak menjadi pemimpin apabila memiliki kemampuan dan kemauan.
Selain itu, dalam Al-Quran surah Al-Maidah Ayat 8 juga diterangkan, “Hai, orang-orang yang beriman. Hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha pengampun apa yang kamu kerjakan.
“Berdasarkan ayat di atas, salah satu kriteria untuk menjadi pemimpin adalah selalu menegakkan kebenaran (jujur) dan berlaku adil,” tegasnya.
Pemimpin yang baik yakni pemimpin yang selalu mengedepankan moral dan nilai-nilai yang berlaku di lingkungan masyarakat. Sifat dan karakter demikian terlukis pada diri Nabi Muhammad saw, yang memiliki 4 sifat kepemimpinan yang wajib kita teladani dan amalkan dalam memimpin masyarakat nantinya.
Adapun sifat kepemimpinan Nabi Muhammad saw, yakni: Shiddiq (benar), Amanah (dapat dipercaya), Tabligh (menyampaikan pesan (wahyu) kepada umatnya) dan Fathanah (cerdas).
Dari penjelasan diatas, bisa ditarik benang merah bahwa peran perempuan di ranah publik di perbolehkan oleh syariat Agama Islam.
Seperti yang pernah dilakukan oleh seorang perempuan yang menegur dan memprotes kebijakan Khalifah Umar bin Khathab ketika memberikan ketetapan untuk melarang wanita menetapkan mahar yang banyak sekaligus menentukan batasan-batasannya (Q.S 4:20).
“Ini menunjukkan perempuan juga berhak berpendapat terkait kebijakan pemimpin dan dipertimbangkan pemikirannya,” ungkapnya.
Demikian, terkait eksistensi perempuan di ruang publik saat ini juga telah mendapat kebijakan afirmatif oleh negara. Sehingga, ketika memasuki era reformasi, representasi perempuan terhadap ekpresi politik diberi porsi sebanyak 30 persen dari total kursi DPR. Hal ini sudah dilaksanakan sejak pemilu Tahun 2004. Serta dengan dikeluarkannya Undang-undang N0. 2 Tahun 2008 Tentang Parpol dan Undang-undang N0. 10 Tahun 2000 Tentang Pemilu.
Atas dasar itu, membuktikan bahwa ruang demokrasi bagi perempuan untuk berkiprah di ranah politik semakin meningkat. Keterbukaan Agama dan kebijakan afirmatif yang dilakukan oleh negara menjadi akses bagi kaum perempuan dalam berperan di ruang publik. Keterlibatan peran perempuan dalam pengambilan kebijakan tersebut telah diperhitungkan. Ditambah dengan bekal pendidikan yang sangat terbuka, kaum perempuan juga mempunyai kualitas yang tak kalah tinggi dari kaum laki-laki dalam mengaktualisasikan peranannya di ranah publik.
Maka dalam hal ini, kita harus memerangi ketidakadilan sosial sebagai akibat dari pikiran hegemoni terhadap kaum perempuan. Salah satunya dengan meningkatkan pemberdayaan dan memberikan ruang berproses terhadap perempuan di ruang publik. Sehingga, perempuan tidak hanya dimanfaatkan oleh kaum elit sebagai alat untuk meraih kekuasaan atau sekedar pelengkap syarat untuk memenuhi kuota kursi parlemen.
Gerakan feminisme juga harus terus diperjuangkan sebagai upaya terbentuknya kesadaran bersama terkait kesetaraan gender. Bahwa, hak perempuan untuk bisa menjadi seorang pemimpin di ruang publik tidak lagi termarjinalkan.
Perempuan harus tetap kobarkan aspirasi masyarakat dan menjadi agen terdepan dalam mengadvokasi permasalahan perempuan di lingkungan masyarakat. Panjang umur perjuangan, panjang umur pergerakan.
Redaksi-FMI