Ting.
Pagi ini. Gadis berambut lurus dan panjang itu terbangun bukan lagi karena dering jam wekker yang selalu diletakkannya di pojok meja samping tempat tidur. Dering yang biasa membangunkannya sebelum suara emas Ibu yang diiringi ketukan pintu menghias paginya. Namun, suara notifikasi dari sebuah aplikasi yang dipasang pada ponselnya itulah yang berhasil membangunkannya. Telinganya terlalu peka dengan suara-suara yang berasal dari benda pipih yang diletakkan sembarangan saat tidur.
Tangannya meraba-raba tempat tidur untuk mencari keberadaan ponsel yang ia letakkan entah dimana. Ia benar-benar lupa. Dan itu sudah menjadi kebiasaan gadis yang biasa dipanggil Zeevana itu.
Matanya menyipit menatap layar ponsel yang menampilkan sebuah notifikasi pesan. Zeevana menscroll ponselnya dan melihat isi pesan pada sebuah aplikasi dengan ikon huruf f itu.
_”Hei! Bolehkah kuminta nomor teleponmu?”_
Seketika Zeevana merubah posisinya dengan duduk bersandar pada sandaran tempat tidur. Tangannya dengan gesit membalas pesan yang baru saja diterimanya itu. “Untuk apa?”
_”Agar aku bisa menghubungimu nantinya.”_
“Maaf. Tetapi, aku tak memiliki kontak yang bisa di telpon. Aku hanya memiliki kontak Whatsapp,” dusta Zeevana.
_”Oh, tak mengapa. Kirimkan saja padaku.”_
Tak butuh waktu tangannya yang gesit mengetik nomor WhatsApp dan mengirimnya. Zeevana beranjak meninggalkan ponselnya ke kamar mandi. Tak peduli dengan terakhirnya yang terbalas atau tidak.
Dengan air yang teramat dingin Zeevana mengguyur tubuhnya. Lebih pagi dari biasanya. Menyegarkan otak dan tubuhnya yang terasa lelah.
Selepas dari kamar mandi, masih dengan handuk yang Zeevana gunakan untuk mengeringkan rambut panjangnya yang tergulung di kepala. Ia duduk di pinggiran tempat tidur dan meraih kembali ponsel yang sempat ditinggalkannya. Benda pipih berwarna hitam pekat itu nyatanya sudah mati total karena kehabisan daya.
“Ah, aku lupa. Sejak semalam aku tak memutuskan sambungan dataku. Pantas saja ponselku mati total seperti ini,” gumamnya sendiri.
***
Zeevana berdiri didekat jendela kamar. Menikmati sinar matahari yang melisik masuk dengan malu-malu melalui celah jendela. Tatapan mengarah pada perempuan paruh baya yang sedang asyik bersenda gurau dengan tanaman hias di taman kecil yang di tata sendiri. Sesekali ia melihat perempuan itu tersenyum lebar.
Bosan memandangi aktivitas pagi Ibu dari kaca jendela. Otaknya menuntun kakinya melangkah menuruni tangga demi tangga yang menghubungkan kamarnya dengan lantai dasar.
“Bu!” panggilnya masih berdiri di ambang pintu dengan rambut setengah basah tak terikat. Ia dapati balasan hanya dengan seutas senyum manis milik Ibu.
Langkahnya kembali mengayun dengan pasti menyusuri rerumputan hijau yang masih didiami sisa-sisa embun semalam, sedikit membasahi telapak kaki putih mulusnya.
“Apakah ada yang bisa aku bantu?” ucapnya menawarkan diri.
Ibu menatap Zeevana aneh. “Yakin?” tanya Ibu ragu-ragu.
Zeevana hanya membalas dengan anggukan.
“Kau mau bantu Ibu mengerjakan apa? Menyiram tanaman-tanaman Ibu atau memberi makan ikan-ikan kecil itu?”
Gadis itu menyibak poninya ke belakang. Jari telunjuk ia ketuk-ketukkan di kening. Berusaha menimbang hal apa yang bisa dilakukannya untuk membantu Ibu pagi ini.
“Bagaimana?” tanya Ibu memastikan.
“Biar aku yang memberi makan ikan-ikan kecil itu, Bu.”
Ibu mengangguk. “Baiklah.”
“Tetapi, apakah kau benar-benar yakin, Zeevana?” tanya Ibu untuk memastikan ke sekian kalinya.
Zeevana mengembus napas panjang. “Bu, tidak perlu meragukanku. Jika pun aku tak bisa nantinya. Maka, Ibulah yang akan mengajarkanku.”
Ibu terkekeh mendengar ucapan anak gadisnya. “Baiklah, anak kesayangan Ibu,” ucap wanita paruh baya itu seraya mengelus lembut rambut panjang Zeevana yang belum sepenuhnya mengering.