Oleh : Zaky Akbar
Koordinator Bidang Hukum & HAM
Fasilitator Untuk Akses Keadilan (FAKTOR NTB)
Lombok Timur, FMI.com. Persoalan tindak pidana perdagangan orang bukan isu baru untuk diperbincangkan, kejahatan tersebut menjadi perhatian dunia karena berskala internasional atau antar negara. Salah satu kelompok yang rentan menjadi korban perdagangan orang yaitu Pekerja Migran Indonesia (PMI,red), baik yang Legal maupun Ilegal. Indonesia merupakan salah satu negara yang menyumbang PMI atau TKI terbanyak di dunia. Hal tersebut tentunya membuat posisi PMI rentan menjadi korban perdagangan orang.
Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menyatakan bahwa Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Tanggung jawab mencegah terjadinya perdagangan manusia pada PMI tentunya bukan hanya menjadi tugas dari Pemerintah, persoalan ini juga menjadi beban PMI itu sendiri, Tokoh agama, Tokoh masyarakat, semua masyarakat, LSM dan Stakeholder lainnya.
Lombok timur sebagai salah satu daerah penyumbang PMI/TKI yang cukup besar di Indonesia. Tentunya harus mempersiapkan berbagai upaya dalam mencegah dan menanggulangi potensi terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Persoalan TKI/PMI Ilegal maupun Legal tetap menjadi perhatian dan tanggung jawab pemerintah Kabupaten Lombok timur.
Kasus Yuli handayani, 30 Tahun asal desa Suralaga Kec. Suralaga, Lombok Timur, seorang pekerja migran Indonesia (PMI), diduga menjadi korban perdagangan orang. Telah mengalami penyiksaan oleh majikannya selama bekerja di Dubai dan saat ini berada di KBRI Abu Dhabi.
Tidak hanya kasus yuli, sebelumnya juga terungkap dugaan kasus perdagangan orang terjadi pada beberapa PMI Lombok timur. Terlepas dari Legal atau tidaknya PMI masih tetap pada tanggung jawab negara. Dan juga menjadi sebuah kelalaian negara dalam pengawasan & pencegahan dini terjadinya keberangkatan PMI yang memiliki potensi perdagangan orang.
Persoalan dugaan tindak pidana perdagangan orang yang terjadi pada yuli handayani dan PMI lainnya yang berasal dari Lombok timur. Seharusnya menjadi refleksi bagi Pemerintah Kabupaten Lombok timur, khususnya peran Dinas Tenaga Kerja & Transmigrasi Kabupaten Lombok Timur.
Alasan PMI yang tidak sesuai prosedur atau Ilegal, lalu menjadikan negara lepas atau lemah dalam hal tanggung jawab terhadap warga negaranya ialah bentuk lalainya negara dalam hal proses pengawasan. PMI yang Ilegal dengan persetujuan sendiri untuk diproses keberangkatan secara non prosedural atau bahkan setuju dieksploitasi ke majikannya, masih termasuk dalam hal perdagangan orang.
Merujuk dalam syarat sahnya suatu perjanjian dalam 1320 KUHPer, meskipun ada kesepakatan yang menyetujui, namun memuat klausul atau suatu sebab yang dilarang maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Hal tersebut dipertegas Pasal 1337 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum. Kemudian berdasarkan pada Pasal 1335 KUH Perdata maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
Artinya, meskipun pihak korban telah menyetujui ataupun berniat sekalipun untuk melalui jalur non prosedural atau sepakat dieksploitasi ke majikannya, proses penindakan terhadap pihak yang mengeksploitasi korban tetap dapat dilakukan. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 26 UU 21/2007 yang menyatakan bahwa Persetujuan korban perdagangan orang tidak menghilangkan penuntutan tindak pidana perdagangan orang.
Sampai saat ini, persoalan pelaporan atau penindakan oleh dinas terkait di Lombok timur agar masuk keranah proses hukum, terlihat minim dilakukan. Sehingga sangat memungkinkan adanya kontrol dan evaluasi perlu dilakukan oleh Bupati & DPRD Kabupaten Lombok Timur terhadap dinas terkait. Hal tersebut perlu dilakukan untuk memastikan rasa aman bagi warga negara dan agar dapat menghindari penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial karena TPPO pada PMI/TKI.
Tidak hanya pada penindakan, penulis juga menganggap sangat perlu ada upaya hukum preventif dalam meminimalisir atau mencegah potensi kejahatan perdagangan orang. Artinya, sebelum kejahatan tersebut terjadi sudah ada langkah-langkah yang diambil atau dilakukan. . Sehingga, konsep & langkah upaya hukum preventif sangat perlu, terutama pada tingkat pedesaan yang terintegrasi dengan dinas ketenagakerjaan bahkan bila perlu sampai pasa Kementrian Luar Negeri. Penting untuk lebih dilakukan upaya pencegahan oleh semua pihak khususnya pemerintah baik itu dari Kementerian Ketenagakerjaan, dinas ketenagakerjaan, BP2MI, LSM, PT terkait, sampai tataran pemerintah desa. Agar potensi terjadinya perdagangan manusia bisa diminimalisir melalui upaya preventif, selain dari penindakan atau dengan upaya hukum represif yang menekankan pada penindakan, artinya, ketika kejahatan perdagangan orang sudah terjadi baru ada penindakan
Khusus mengenai kasus Yuli handayani yang diduga menjadi korban perdagangan orang, Fasilitator untuk Akses Keadilan (FAKTOR) NTB menilai pemerintah khususnya Pemkab Lombok timur masih lemah dalam mengadvokasi korban agar dapat pulang ke tanah air untuk secepatnya. Kemudian penegak hukum dalam hal ini aparat kepolisian khususnya Polda NTB seharusnya, segera mengusut dugaan tindak pidana perdagangan orang berkedok pengiriman PMI/TKI.
Terakhir, evaluasi terhadap kinerja Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi Kabupaten Lombok Timur perlu dilakukan guna mempertanyakan langkah-langkah yang dilakukan dalam menjamin adanya pencegahan dan penindakan terhadap perdagangan manusia berbasis pengiriman PMI/TKI. (FMI)