MATARAM | FMI – Maraknya pemberitaan terkait dugaan korupsi NTB Convention Center (NCC) telah memicu banyak perbincangan hangat di kalangan akademisi dan praktisi di wilayah NTB. Salah satu akademisi yang menyoroti kasus ini adalah Dr. Ahmad Rosidi, S.H., M.H., dosen Fakultas Hukum Universitas 45 Mataram sekaligus Kepala LP5 UPATMA.
Kejaksaan Tinggi NTB (Kejati NTB) telah menetapkan mantan Sekretaris Daerah (Sekda) NTB, Ir. Rosiady Husaenie Sayuti, M.Sc., Ph.D., sebagai tersangka pada Kamis, 13 Februari 2025. Penetapan ini dilakukan setelah Ir. Rosiady menjalani pemeriksaan dalam kasus dugaan korupsi NCC yang melibatkan PT. Lombok Plaza.
Dalam kasus ini, Kejati NTB menyebutkan bahwa negara mengalami kerugian sebesar Rp15,2 miliar. Selain itu, Kejati NTB juga dikabarkan memeriksa mantan Gubernur NTB, TGB Zainul Majdi. Sebelumnya, pada 7 Januari 2024, Kejati NTB telah menetapkan mantan Direktur PT. Lombok Plaza, yang berinisial DS, sebagai tersangka.
Berdasarkan pemberitaan media (NTBSatu, 13 Februari 2025), Kejati NTB menjerat mantan Sekda NTB, Rosiady Sayuti, dengan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kasus ini berkaitan dengan pemanfaatan lahan NCC antara Pemerintah Provinsi NTB dan PT. Lombok Plaza. Pada tahun 2012, Pemerintah Provinsi NTB memiliki beberapa bidang tanah seluas 31.963 meter persegi yang berlokasi di Jalan Bung Karno, Kelurahan Cilinaya, Kecamatan Cakranegara, Kota Mataram. Tanah tersebut kemudian dikerjasamakan dengan PT. Lombok Plaza dalam bentuk skema Bangun Guna Serah (BGS).
Namun, dalam pelaksanaannya, perjanjian kerja sama tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hingga saat ini, gedung NCC yang seharusnya dibangun belum terealisasi, dan lahan tersebut masih dalam penguasaan PT. Lombok Plaza. Selain itu, Pemerintah Provinsi NTB juga belum menerima kompensasi pembayaran sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian.
Dari perspektif akademis sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas 45 Mataram, kasus ini lebih tepat dikategorikan sebagai sengketa perdata. Dalam skema Bangun Guna Serah (BGS), pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah dilakukan oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, yang kemudian didayagunakan dalam jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan, sebelum akhirnya dikembalikan kepada pemerintah. Sementara itu, dalam skema Bangun Serah Guna (BSG), setelah pembangunan selesai, aset diserahkan terlebih dahulu kepada pemerintah sebelum kemudian digunakan oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu.
Pelaksanaan skema BGS/BSG atas barang milik daerah didasarkan pada pertimbangan berikut:
1. Pengguna barang memerlukan bangunan dan fasilitas untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelayanan umum.
2. Dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tidak tersedia atau tidak mencukupi untuk pengadaan bangunan dan fasilitas tersebut.
Ketentuan ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Saran kepada Kejati NTB
Dalam menangani kasus ini, Kejati NTB sebaiknya mempertimbangkan pendekatan restorative justice sebagai solusi untuk meminimalkan konflik yang terjadi. Mengingat kompleksitas kasus ini, diperlukan pendalaman dan kehati-hatian dalam penyelidikan.
Selain itu, perlu diperhatikan bahwa seorang Sekretaris Daerah (Sekda) bertindak atas mandat dari Gubernur sebagai bentuk pelimpahan kewenangan dari badan atau pejabat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pejabat yang lebih rendah. Namun, tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat, dalam hal ini Gubernur NTB saat itu ***