Kegiatan

Cerita Bersambung “Ranting Patah” Part-7

×

Cerita Bersambung “Ranting Patah” Part-7

Share this article

Author : ynurnun

Zeevana melangkah dengan anggun bak seorang model yang tengah berjalan di atas catwalk. Dengan tubuh jenjang yang dibalut gaun merah muda, sepatu hak tinggi dan polesan make up natural membuat aura kecantikan yang dimiliki gadis itu tampak terpancar jelas. Di tambah dengan senyum tipis, tetapi manis yang terbit menghias bibir ranumnya berhasil menghipnotis mata para tamu undangan lain menyorotinya.


“Orang-orang menatapku. Apakah ada yang salah dengan penampilanku?”
Entah kenapa pertanyaan yang dilontarkan Zeevana membuat Gauri tak bisa menahan tawa. Itu salah satu pertanyaan konyol yang pernah Gauri dengar dari bibir sahabatnya itu.


“Efran,” cicit Gauri tiba-tiba.
Mendengar nama yang disebutkan Gauri berhasil membuat wajah Zeevana terangkat seketika. Ia menatap lurus ke depan. Menemukan seorang lelaki dengan setelan tuxedo berwarna hitam pekat tengah berdiri tegap. Netranya menangkap sorot mata lelaki itu tengah menatapnya dengan senyum mengembang menghias wajah tegas itu.
Jantung Zeevana berpacu di luar batas normal. Jemari-jemarinya saling bertautan satu sama lain. Ada apa ini?
Gauri melihat ada yang aneh dengan sahabatnya. Ia menyentuh lengan mulus Zeevana yang tak tertutup kain. “Kau baik-baik saja?”
Gadis itu hanya mengangguk menimpali pertanyaan Gauri. Tubuhnya sedikit bergetar saat tatapannya bertubrukan dengan manik cokelat nan tajam milik lelaki yang berjarak cukup jauh darinya. Tangannya mulai basah bekas keringat yang bermunculan secara tiba-tiba.
Detak jantung yang sudah berdetak abnormal kembali memacu detakannya semakin kencang tatkala ia bisa menangkap sesosok bertubuh atletis itu kian mendekat ke arahnya. Ia menggigit bibir bawah melihat senyum mengembang itu.
“Hei! Apa kabar? Apa kau masih mengingatku?” sapa Efran saat jarak diantara keduanya terhitung kurang dari satu meter.
Zeevana benar-benar merasa gugup. Ia hanya mampu menganggukkan kepala untuk menjawab pertanyaan lelaki yang pernah hadir di masa lalunya itu. Namun, masih mendekam di ruang terdalamnya.
“Aku akan meninggalkanmu sebentar disini, Zee. Aku ingin menemui sepupuku yang lain,” ucap Gauri seraya menepuk pelan lengan gadis itu.
“Tetapi, Gauri…”
Gauri dengan cepat memotong kalimat Zeevana. “Sebentar saja. Lagipula, sudah ada Efran yang akan menemanimu.”
Sebentar Zeevana melirik Efran dengan ekor matanya.
“Bagaimana, Efran? Apa kau tak keberatan menemani Zeevana sementara aku kesana?” tanya Gauri seraya menunjuk segerombol perempuan berkebaya dengan warna serupa.
“Dengan senang hati aku akan menemani gadis cantik ini,” jawab Efran tersenyum manis dan tatapan yang tak beralih dari wajah Zeevana.
Sungguh. Demi apapun. Zeevana benar-benar merasa di terbangkan menuju langit ke tujuh mendengar pujian Efran. Ia menunduk tersipu. Pipinya menimbulkan semburat merah merona. Padahal, ini bukanlah kali pertama Efran menyebutnya gadis cantik. Bahkan, dulu saat keduanya menjalin kasih. Hampir setiap hari Efran mengatakan hal serupa padanya.
Hening yang tercipta setelah kepergian Gauri. Tak ada percakapan yang tercipta. Hanya suara gemuruh yang beradu di dalam dada gadis itu. Desir darah yang ia rasakan semakin deras. Atmosfer ruangan pun terasa berbeda. Ia mengaitkan jemarinya tak menentu. Ia gugup.
Efram berdehem. “Zeevana.” Panggil lelaki itu dengan lembut, etapi dengan suara sedikit meninggi. Karena, ia takut suaranya tergelam bersama riuh suasana ruang pesta.
Oh, Tuhan. Lagi-lagi jantung gadis itu berpacu hebat mendengar panggilan Efran. Zeevana mengangkat wajah dan memberanikan diri menatap sepasang bola mata lelaki yang duduk berseberangan dengannya.
“Kau belum menjawab pertanyaanku.”
Alis Zeevana bertaut menjadi satu. Keningnya mengkerut. Pertanyaan apa yang dimaksud Efran?
“Pertanyaan apa maksudmu?”
“Tentang kabarmu.”
“Oh.” Zeevana mengangguk paham. “As you can see.”


“Syukurlah.”
Hening kembali menyergap.
“Rupanya kau cukup berbahagia setelah tak lagi denganku,” ucap Efran memecah keheningan.
Gadis itu hanya tersenyum tipis. Rasanya malas untuk membalas ucapan lelaki itu. Lagipula, peduli apa Efran dengan kehidupan Zeevana setelah ia pergi begitu saja.
“Maafkan keputusanku kala itu, Zee.”
Sebentar gadis itu menatap Efran datar. “It’s okay. Aku menghargai keputusanmu.”
“Terima kasih. Kau begitu baik memaafkan pengecut sepertiku.”


Lagi-lagi Zeevana membalas dengan senyum tipis. Ia mengembuskan napas pelan. “Lagipula, jika aku tak memaafkanmu. Apakah bisa merubah keputusanmu dan bisa mengembalikan keadaan dengan baik? Tidak, ‘kan? Lantas apa alasanku tak memberi maaf padamu?”
Efran merasa tertohok mendengar jawaban itu. Jawaban yang berhasil menyumpal mulutnya hingga tak mampu berucap lagi.
Gadis itu mengedarkan pandangan ke segala arah. “Berhenti membahas hal-hal seperti itu.”
“Lalu, jika aku masih mencintaimu. Bagaimana?”
“Itu urusanmu,” balas gadis itu dengan cepat. Anehnya, jawaban singkat itu berhasil menghujam hatinya. Sakit.
“Apa kau sudah tak mencintaiku lagi, Zee?”
Sebelum bibir ranum milik Zevana berucap. Seseorang tiba-tiba menyentuh pundaknya dengan lembut. Ia sedikit terlonjak dan menoleh.
“Hei!”
Tatapan yang tadinya beredar tak tentu arah itu kini berhenti tepat pada sesosok lelaki yang berdiri tepat di sampingnya. Ia menatap lelaki berjas abu tua itu dengan tatapan bingung. Bagaimana bisa lelaki itu bersikap seperti teman dekatnya? Padahal, mereka baru saja berkenalan melalui sosial media.
“Apa kabar?” tanya lelaki itu.
Zeevana masih terpaku. Ia sibuk dengan jalan pikirannya sendiri.
“Deehan,” ucap Efran tiba-tiba dan berhasil menyita perhatian Zeevana.
“Oh, rupanya kau masih mengingatku, Efran,” balas lelaki yang di panggil Deehan itu dengan senyum sinisnya.
Tatapan Zeevana beralih pada lelaki yang posisi duduknya berseberangan. “Kau mengenalnya?” tanya gadis itu dengan memicingkan mata.
“Teman lama.”
Gadis itu hanya mengangguk paham. Ia kemudian kembali mengedarkan pandangannya tak menentu. Jelas saja. Kini ia terjebak pada suasana yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

“Apa hubunganmu dengan dia?” tanya Efran dengan nada dingin. Nada yang belum pernah didengar oleh Zeevana.
Gadis berbalut gaun merah muda itu menoleh ke arah sang empunya suara. Ia menelisik setiap jengkal wajah tampan yang kini berubah datar. Namun, tatapan manik cokelat itu begitu tajam menghujam netranya. Seketika gadis itu menunduk.


“Dia calon istriku,” jawab Deehan dengan bangga.
Jawaban yang berhasil membuat Zeevana dan Efran membulatkan mata tak percaya. Bagaimana bisa Deehan berbicara seperti itu?
Efran tertawa sinis. “Oh, begitu. Baiklah. Aku permisi.” Efran dengan raut yang susah di gambarkan bangkit dan berlalu. Namun, tangan kekarnya dicekal oleh sepasanga tangan lembut yang tentu ia sangat siapa pemiliknya.
“Aku tak ada hubungan apapun dengan Deehan,” jelas Zeevana mengklarifikasi ucapan lelaki yang baru beberapa hari di kenalnya itu.
Dengan lembut tangan Efran melepas genggaman itu. “Ada atau tidaknya hubunganmu dengan dia. Itu sudah bukan menjadi urusanku lagi.”
Pegangan itu seketika melonggar. Rupanya, ucapan Efran kali ini persis seperti belati yang menusuk dan mengkoyak hati gadis berambut panjang itu. Ia menatap nanar punggung Efran yang kian menjauh, hingga tenggelam di antara kerumunan tamu-tamu undangan.
“Maaf.”
Kata itu terdengar saat Zeevana benar-benar sudah tak bisa menemukan lagi sosok Efran. Entah kemana lelaki di masa lalunya itu pergi.
“Aku tak bermaksud membuatmu bersedih seperti itu.”
Zeevana mendaratkan tubuhnya kembali pada kursi. Ia menatap datar lelaki yang masih berdiri di sampingnya.
“Perihal ucapanku tadi. Aku tidak bercanda.”
Alis itu terpaut menjadi satu.
“Kau adalah calon istriku.” Deehan tersenyum manis. “Dan aku akan menghapus kata calon itu di suatu hari nanti,” lanjut lelaki bermata teduh itu.
Gadis itu semakin tenggelam dalam kebingungan. Ia benar-benar tidak paham maksud perkataan lelaki itu.
“Zeevana,” panggil Deehan.

“Aku sudah memaafkanmu, Deehan. Lagipula, benar yang dikatakan Efran. Urusanku bukan lagi urusannya.”
Deehan menganggukkan kepala.


“Tentu saja tidak, Zee. Tetapi, orang-orang itu menatapmu, karena mereka terpana dengan pesona kecantikanmu,” ucap Gauri penuh kejujuran.
“Jangan bercanda. Aku bertanya serius padamu.” Zeevana sedikit kesal.
“I’m serious, Zee. Aku mengatakan yang sebenarnya.”
Gadis itu mulai enggan menanggapi Gauri. Ia kembali menundukkan wajahnya, risih ditatap terus menerus oleh orang-orang. Ia menatap pantulan tubuh tingginya pada lantai keramik yang bersih.


“Aku malu,” bisik Zeevana di telinga Gauri setelah ia sadari beberapa sorot mata menghujamnya dengan tatapan takjub. Gadis itu menundukkan wajah dan menyelipkan rambut yang terjatuh menutup wajahnya ke belakang telinga.


Gauri mendongakkan kepala agar bisa dengan leluasa menatap wajah sahabatnya itu. Ia menatap bingung Zeevana. “Kenapa?” tanya gadis berperawakan gempil itu dengan polos.

Bersambung ke Part-8…………

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *