
Berangkat dari adagium hukum Salus Populi Suprema Lex Esto yang diungkapkan Cicero seorang negarawan dan orator Romawi Kuno, bermakna “Keselamatan Rakyat Merupakan Hukum Tertinggi.” Secara implisit adagium tersebut termaktub dalam pembukaan UUD Tahun 1945 pada alinea ke 4 yang berbunyi “Membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia”, apabila ditafsirkan berarti keselamatan dan kemakmuran rakyat merupakan tujuan utama bernegara. Sehingga negara harus menjamin dan melindungi segenap bangsa Indonesia.
Sayangnya, elok makna adagium tersebut belum sepenuhnya tercermin dalam penyelenggaraan negara di Indonesia. Jangankan implementasinya, payung hukum yang digunakan sebagai landasan penentuan kebijakan negara pun kian serong dari prinsip keadilan rakyat. Sebagai bukti, berbagai payung hukum kontroversial dan tak berpihak pada rakyat terus dilanjutkan dalam agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas), diantaranya Omnimbus Law UU Cipta Kerja. Tidak heran penolakan terhadap pengesahan RUU Cipta Kerja yang dilakukan oleh mahasiswa dan buruh bukan tanpa alasan. Protes terkait pengesahan UU Cipta Kerja selalu berpusat pada dua hal: ketenagakerjaan dan lingkungan hidup.
Salah satu cita-cita bernegara yang penting yang diwariskan oleh ‘the founding leaders’ Indonesia itu kepada generasi kita sekarang ialah cita negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan, bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.1 Ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum.2
Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of Man”. Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Laws”, jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani Kuno.3
Prinsip negara hukum hendaknya dibangun dan dikembangkan menurut prinsip- prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat, serta tidak boleh mengabaikannya. Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat)4 atau pun korporatokrasi. Negara Indonesia sebagai Negara Hukum atau ‘Rechtsstaat’ menurut tradisi Eropah Kontinental. Ciri dari negara hukum atau Rechtsstaat adalah pemerintahan berdasarkan undang-undang. Eksekutif dan Legislatif sebagai lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan hingga level tingkat peraturan daerah tentunya menjadikan pijakan untuk menciptakan ketertiban dan kepastian hukum di suatu negara, agar penyelenggaraan negara, masyarakat, badan hukum dan usaha dapat memiliki pijakan hukum sesuai yang dibutuhkan.
Pada pelantikan periode Ke-dua Presiden Joko Widodo tanggal 20 Oktober 2019, dalam pidatonya menyampaikan rencananya akan membuat UU Omnibus Law sebagai bentuk penyederhanaan regulasi di Indonesia, ide ini berangkat dari persoalan obesitas regulasi yang menghambat investasi di Indonesia akibat saling tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan, beban harmonisasi dan sinkronisasi, tidak ada lembaga yang melakukan monitoring dan evaluasi. Berdasarkan data peraturan.go.id, jumlah regulasi kita dari undang-undang berjumlah 1.687, peraturan pemerintah berjumlah 4.553, peraturan presiden berjumlah 2.006, Peraturan BPK berjumlah 26, Peraturan Bank Indonesia berjumlah 146, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan berjumlah 328, Peraturan Menteri berjumlah 14.622, Peraturan Lembaga Pemerintah Non Kementerian berjumlah 3.722, Peraturan Daerah berjumlah 15.960. maka total keseluruhan adalah 43.235 peraturan perundang-undangan.5
Menurut guru besar FH UI, Prof. Satya Arinanto, obesitas regulasi dimulai sejak Pemerintah Belanda memberlakukan sekitar 7000 peraturan perundang-undangan di wilayah Hindia Belanda (sekarang Republik Indonesia) dari tahun 1819. Berdasarkan hasil penelitian Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM RI tahun 1995, masih tersisa sekitar 400 peraturan perundang-undangan dari masa kolonial yang masih berlaku hingga sekarang. Hal ini antara lain merupakan efek dari program pembaruan dan pembangunan hukum nasional yang telah dilakukan sejak pasca tahun 1949 atau setelah Indonesia Merdeka.
Pemerintah resmi menyerahkan draf RUU Cipta Kerja kepada DPR pada Rabu, 13 Februari 2020, waktu itu pendemi COVID-19 belum terjadi. Menurut Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, permasalahan rendahnya peringkat kemudahan berusaha disebabkan oleh beberapa faktor, seperti rumitnya perizinan dalam memulai berusaha, pengadaan lahan yang berbelit, sulitnya mendapatkan akses pembiayaan, dan rumitnya penyelesaian kepailitan. Selain itu efisiensi birokrasi di Indonesia juga masih perlu ditingkatkan, karena efisiensi birokrasi merupakan modal utama untuk meningkatkan kepercayaan asing berinvestasi di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan perbaikan iklim investasi dan peningkatan investasi untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing yang akan mendorong penciptaan lapangan kerja. RUU Cipta Kerja tersebut terdiri dari 11 klaster dengan merevisi 79 undang-undang.7 Pembahasan RUU ini di DPR mulai dilakukan sejak 2 April 2020 sampai RUU Cipta Kerja disahkan oleh DPR pada tanggal 5 Oktober 2020. Selama pembahasan RUU Cipta Kerja, kondisi global telah menetapkan Pendemi Covid-19 dan mendapat penolakan dari sejumlah kalangan, mulai dari akademisi, organisasi masyarakat, mahasiswa hingga kalangan buruh. Terakhir RUU Cipta Kerja dundangkan pada tanggal 2 November 2020 dan resmi menjadi UU No 11 tahun 2020.
Penolakan terhadap UU Cipta Kerja tidak terhenti berbagai organisasi masyarakat dan organisasi buruh mengajukan pengujian terhadap UU Cipta Kerja baik secara formil maupun materiil. Untuk pertama kalinya dalam sejarah MK mengabulkan pengujian formil, dalam Nomor 91/PUU-XVIII/2020, tanggal 25 November 2021. Mahkamah Konstitusi mengabulkan untuk sebagian permohonan uji formil dengan menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusionalitas bersyarat, sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun”.
Majelis hakim konstitusi dalam Ratio decidendi8 menyampaikan beberapa argumentasi diantaranya tata cara pembentukan UU Cipta Kerja tidak didasarkan
pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang yaitu UU 12/2011. Kemudian, dalam pembentukan UU Cipta Kerja, terjadi perubahan penulisan beberapa substansi pasca pembahasan, pengesahan dan sebelum diundangkan Presiden, sehingga harus dinyatakan cacat formil, karena melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
Alasan UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat adalah hendak menghindari ketidakpastian hukum dan dampak lebih besar yang ditimbulkan. Tetapi lebih pada untuk memenuhi unsur kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh MK terhadap UU Mahkamah Agung pada tahun 2010. Pertimbangan lainnya adalah penamaan UU Cipta Kerja menggunakan nama baru dengan mencabut beberapa pasal dalam 79 Undang- Undang berbeda yang berbeda nomenklaturnya. Sehingga pemenuhan ketentuan Pasal 22A UUD Tahun 1945 dengan pemenuhan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 5 huruf a, huruf e, huruf f, dan huruf g UU 12/2011 terakhir dirubah dengan UU 15/2019 yakni asas kejelasan tujuan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, asas kejelasan rumusan, dan asas keterbukaan, wajib harus dilakukan.
Selanjutnya, pertimbangan mahkamah berkenaan dengan asas keterbukaan, dalam persidangan terungkap fakta pembentuk undang-undang tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal. Sekalipun telah dilaksanakan berbagai pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat, pertemuan dimaksud belum membahas naskah akademik dan materi perubahan UU Cipta Kerja. Sehingga masyarakat yang terlibat dalam pertemuan tersebut tidak mengetahui secara pasti materi perubahan undang-undang apa saja yang akan digabungkan dalam UU Cipta Kerja. Oleh karenanya, pelaksanaan asas keterbukaan pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi penting, berdasarkan Pasal 96 ayat (4) UU 12/2011 akses terhadap undang-undang diharuskan untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis.
Penggunaan istilah omnibus law merupakan hal baru di Indonesia, sehingga pernyataan Presiden terkait omnibus law dalam pidato pelantikannya dengan cepat mengundang perhatian publik. Omnibus merupakan metode pembentukan peraturan perundang-undangan yang lazim diterapkan di berbagai negara untuk mempercepat proses legislasi, memudahkan harmonisasi peraturan, dan menghemat biaya penyusunan dan pembahasan. Metode Omnibus Law telah banyak dilakukan oleh negara di dunia terutama yang menggunakan tradisi common law system. Di dunia terdapat dua sistem hukum yakni common law system dan civil law system. Indonesia mewarisi tradisi civil law system.9
Pendapat para ahli Hukum Tata Negara di Indonesia, hampir secara keseluruhan pada dasarnaya adalah sepakat dengan penerapan system pembentukan peraturan perundang-undangan dengan metode omnibus. Tetapi yang perlu diperhatikan adalah asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan adanya norma kosong dalam peraturan delegasi dari pasal 22 A UUD 1945 yaitu UU 12/2011 yang perlu di perbaiki. Sedangkan secara substansi harus hati-hati dalam melakukan harmonisasi dan singkronisasi peraturan. Sebagaimana fakta penolakan kelompok yang menolak UU Cipta Kerja lebih kepada penggabungan Klaster Tenaga Kerja dan Lingkungan Hidup yang bersifat welfare state dengan klister investasi yang bersifat kapitalisme.
Metode omnibus juga telah dicoba oleh negara-negara Asia Tenggara. Di Vietnam, penggunaan teknik omnibus dilakukan untuk implementasi perjanjian WTO tahun 1995. Di Filipina, penggunaan Omnibus Law lebih mirip dengan apa yang dilakukan di Indonesia dengan UU Cipta Kerja. Filipina memiliki Omnibus Investment Code of 1987 and Foreign Investments Act Of 1991. Pada 16 Juli 1987, Presiden Corazon C. Aquino dikenal dengan Cory Aquino menandatangani Executive Order No. 26 yang dikenal sebagai The Omnibus Investments Code of 1987. Peraturan tersebut ditujukan untuk mengintegrasikan, memperjelas, dan menyelaraskan peraturan perundang-undangan tentang investasi untuk mendorong investasi domestik dan asing di negara tersebut. Peraturan ini mencakup ketentuan- ketentuan tentang fungsi dan tugas Dewan Investasi; investasi dengan insentif; insentif untuk perusahaan multinasional; dan insentif untuk perusahaan pemrosesan ekspor. Selama beberapa dekade penggunaannya, Omnibus Law berkembang menjadi “undemocratic practise” (praktek yang tidak demokratis) dalam pembentukan undang-undang di Parlemen Philipina.
Adagium hukum “Lex rejicit superflua, pugnantia, incongrua” — Hukum menolak hal yang bertentangan dan tidak layak”. Sistem pengerjaan UU Omnibus Law Cipta Kerja terkesan SKS (Sistem Kebut Semalam), baik pembuatan naskah akademik maupun materi muatannya dalam draf RUU yang menabrak sana-sini dengan tanpa memerhatikan asas otonomi daerah dan UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, demikian pula pengabaian lingkungan hidup berkelanjutan. Lantas kebijakan omnibus law dalam rangka pembangunan ekonomi investasi berorientasi untuk kesejahteraan siapakah? Apabila merujuk pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sebesar-besar kemakmuran/ kesejahteraan rakyat siapa?.
Mengingat Indonesia sebagai negara hukum, maka konsepsi Negara Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggris untuk menyebut prinsip Negara Hukum adalah ‘the rule of law, not of man’. Yang disebut pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya.11 Sebagaimana adagium Politiae legius non leges politii adoptandae – politik harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya.
Prinsip-prinsip pokok Negara Hukum (Rechtsstaat) yang berlaku di zaman sekarang yang terdiri dari Dua Belas prinsip pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern, seperti: 1. Supremacy of Law; 2. Equality before the Law: 3. Due Process of Law; 4. Pembatasan Kekuasaan; 5. Organ-Organ Eksekutif Independen; 6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak; 7. Peradilan Tata Usaha Negara; 8. Constitutional Court; 9. Perlindungan Hak Asasi
Manusia; 10. Democratische Rechtsstaat; 11. Welfare Rechtsstaat12: dan 12. Transparansi dan Kontrol Sosial.
Negara Hukum Kesejahteraan (Welfare Rechtsstaat) sebagaimana tujuan pendirian Negara Republik Indonesia pada dasarnya untuk mensejahterakan seluruh rakyat tanpa kecuali. Dengan kata lain negara Indonesia bertujuan untuk membentuk negara kesejahteraan. Tujuan pembangunan nasional adalah peningkatan kesejahteraan sosial bukan hanya pertumbuhan ekonomi semata tetapi untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar sosial dan ekonomi dari setiap warga negara agar mencapai suatu standar hidup yang minimal. Konstitusi sebagai Staatsfundamentalnorm ada 14 pasal dalam UUD 1945 yang mengatur soal kesejahteraan. Sehingga rakyat mempunyai legitimasi menuntut negara untuk melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.13
Pada sisi inilah titik singgung antara UU Cipta Kerja dengan idiologi negara hukum kesejateraan. Mengutip pendapat Claus Offe dalam Elviandri, dkk, bahwa kritiknya terhadap welfare state adalah: pertama, sistem kesejahteraan dipandang mengganggu perkembangan modal dan investasi (disincentive to investment) karena pajak yang tinggi dan regulasi yang ketat dikarenakan pada pelaku usaha dianggap membuat disinsentif karena tingkat laba yang diperoleh menjadi kecil dan tidak menarik; Kedua sistem kesejahteraan, hak-hak sosial ekonomi dan peran kuat dari asosiasi serikat pekerja dipandang mengurangi insentif untuk kerja lebih keras (disincentive to work), ketimbang apabila mereka bekerja di bawah lingkungan sistem pasar bebas.14
Hubungan konsep rechtstaat dan welfare state yang merupakan kedua konsep bernegara tersebut harus saling terkait karena untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat membutuhkan kepastian dan keadilan hukum. Hal konsekuensi dari keduanya, negara wajib memberi perlindungan melalui payung hukum terutama kesejahteraan bagi kaum buruh/pekerja dan warga negara secara umum. Negara Hukum Kesejahteraa wujud yang sudah digariskan dalam Pembukaan UUD 1945, “Melindungi segenap bangsa Indonesia, seluruh tumpah, dan memajukan kesejahteraan umum”. Apa konteks negara kesejahteraan ini berhubungan dengan pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945?, konteks ini lebih pada pengelolaan aset dan kekayaan negara yang belum bisa menjamin kesejahteraan bagi masyarakatnya. Perekonomian yang berbasis kesejahteraan rakyat bisa diwujudkan dalam program UMKM dan usaha-usaha perkoperasian bukan kemudian melepaskannya dalam konteks pasar bebas sebagaimana dalam UU Cipta Kerja yang menggabungkan konteks kewajiban negara untuk kesejahteraan rakyat dengan investasi yang terang dan jelas untuk pasar bebas.
Obsesi proklamator Bung Hatta, pada pidatonya tanggal 3 Februari 1946, pada acara pembukaan konferensi ekonomi di Jogjakarta menyatakan, “….sebagai penduduk pulau-pulau yang tersusun di tengah-tengah jalan perhubungan pelayaran, sepatutnya orang Indonesia menjadi bangsa pelayar yang kuat bertindak dan kuat merantau. Tetapi penjajahan Belanda yang bermula dengan menanam kekuasaan monopoli dalam segala rupa, memusnahkan segala aktivitas orang Indonesia. Rakyat Indonesia tertunda hidupnya kedesa, hidup dengan segala genap. Hanya cita-cita untuk menjadi bangsa yang merdeka kembali berdasarkan persaudaraan segala bangsa, tetap padanya”.
Pidato Bung Hatta tersebut kemudian diamini pula oleh Presiden pertama RI Soekarno dalam pidatonya pada tahun 1953, menegaskan pentingnya bangsa Indonesia menjadi bangsa pelaut, dengan mengatakan“Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekedar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti kata cakrawala samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut
menandingi irama gelombang lautan itu sendiri.” Pasalnya, hingga kini kita masih memiliki sejumlah masalah besar yang perlu untuk diatasi sebelum kita mampu mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Kembali ke obsesi Bung Hatta ekonomi kerakyatan yang menjadi keinginan kuat beliau tentang perkenomian bangsa. Karena perkenomian suatu negara pada umumnya ditentukan oleh tiga hal yaitu kekayaan tanahnya, kedudukannya terhadap negara lain dalam lingkungan hubungan internasional, dan kecakapan rakyatnya serta cita-citanya. Bung Hatta menambah satu pasal lagi, yaitu sejarahnya sebagai tanah jajahan. Indonesia yang kaya raya ini menghasilkan harta bagi negara lain beratus-ratus tahun, tapi rakyatnya hidup miskin di tengah- tengah kekayaan yang melimpah. Bung Hatta menilai bahwa akibat penjajahan itu maka sebagian sifat bangsa Indonesia yang sebenarnya “extrovert” itu lenyap karena dibelokkan oleh penjajah. Kejayaan bangsa Indonesia di masa kerajaan Majapahit dan Sriwijaya yang melanglang buana itu menjadi sirna.15
Paska perang dunia pertama dan kedua yang telah melahirkan 2 idiologi besar dunia sebagai mahzab ekonomi yakni mahzab Kapitalisme-Individualisme dan mahzab Sosialisme-Komunisme. Tetapi Soekarno-Hatta memilih jalan sendiri untuk Indonesia dengan Pancasila. Konsep ini seperti the third way atau middle way “jalan ketiga” merupakan gagasan dari Anthony Giddens yang pada dasarnya merujuk pada ketegangan antara subjektivisme-objektivisme dan voluntarisme- determinisme. Dimana subjektivisme dan voluntarisme merupakan cara pandang yang memprioritaskan tindakan atau pangalaman individu. Seperti pertentangan antara Kapitalisme dengan Komunisme terkait dengan klas ekonomi dan kekuasaan.
Terbelahlah dunia dalam dua mazhab besar pada abad 20, dimana mazhab kapitalisme menekankan tidak adanya intervensi negara dalam hal perekonomian, negara hanyalah sebuah fasilitator untuk memberikan suasana kondusif bagi sektor- sektor swasta untuk menjalankan roda perekonomian, sedangkan mazhab sosialisme yang kebalikan dari mazhab kapitalisme, yang menekankan bahwa perekonomian
suatu negara hanya boleh diatur pemerintah yang sangat mengakui hak milik pribadi, mazhab sosialisme sangat membatasi hak milik individu bahkan cenderung meniadakan hak milik tersebut dan hanya mengakui kepemilikan bersama (community). Gambaran kedua mahzab ini dapat kita lihat hari ini pada perang dagang Amerika-China di abad 21.
Perang mahzab Adam Smith-Rostow dengan mahzab Karl Mark-Mao Zhe Dong, tidak berlaku bagi Soekarno-Hatta. Walaupun Hatta sangat menghormati konsep demokrasi tetapi bukan demokrasi barat dan bukan pula mengikuti komunisme. Retribusi yang adil dalam konsep ekonomi kerakyatan bukanlah mendistribusikan asset fisik/riil, bukan pula membagi-bagikan kegiatan bisnis para konglomerat baik yang sedang sekarat ataupun yang sudah bangkrut, bukan pula merupakan alat untuk memudahkan aset fisik dan kesempatan memperoleh rente ekonomi dari aktor-aktor lama ke aktor baru. Retribusi aset dapat diartikan sebagai usaha memberikan kekuasaan dan kesempatan yang adil bagi pengusaha kecil/menengah dan koperasi untuk melakukan kegiatan bisnis yang kita kenal dengan nama landreform atau redistrubusi tanah.
Prinsip ekonomi kerakyatan yang berdasarkan keadilan sangat sesuai dengan tatanan dan nilai-nilai Islam sebagai antitesa atas mahzab ekonomi kapitalisme dan komunisme. Dan ekonomi kerakyatan pun tidak bisa dipungkiri menjadi sebuah solusi untuk menuju perekonomian yang diidamkan Bung Hatta. Hal ini terbukti dalam kondisi kritis ekonomi di Indonesia yaitu pada tahun 1997 dan 2008, dimana ekonomi kerakyatan berperan dalam membantu usaha kecil, menengah dan koperasi terutama kesulitan produksi dan distribusi. Pengalaman ini memberikan alasan bahwa pemberdayaan ekonomi rakyat tidak saja penting dari sudut pandang konseptual dalam mewujudkan demokrasi ekonomi tetapi bukti empiris menunjukkan bahwa UMKM dan koperasi sangat berperan dalam usaha penyerapan tenaga kerja dan menggerakkan aktivitas terutama di masa krisis.16
Daniel Dhakidae dalam Farid Gaban yang dimuat oleh Majalah legendaris “Prisma” meratap dan menggugat. Wabah korona, kata dia, telah menelanjangi umat manusia dan kemanusiaan setidaknya dalam dua hal: wajah munafik neoliberalisme dan
betapa kerdil manusia yang terjatuh sekadar menjadi homo consumens—manusia tukang konsumsi. Korona menghancurkan paham neoliberal ketika perusahaan– perusahaan swasta raksasa, yang sebelumnya merasa berada di atas angin, bersujud minta ampun dihadapkan pada ancaman kebangkrutan. Menelan ludah khotbah supremasi pasar, mereka meminta negara turun tangan membantu. Korona menelanjangi homo consumens, kata Daniel Dhakidae, namun belum sampai menghancurkannya. Sudah sangat lama, sistem ekonomi neoliberal membentuk manusia sekadar menjadi tukang konsumsi; manusia dinilai dari seberapa banyak dia diasosiasikan dengan pasar, serta seberapa banyak dia membeli dan mengonsumsi. Akibat wabah, kegiatan konsumsi sebagian besar orang terhambat, namun pada saat yang sama kapasitas konsumsi segelintir orang justru makin besar. Itu mencerminkan ketimpangan akses terhadap sumbersumber ekonomi di satu sisi dan penormalan korupsi, kolusi oleh kelompok elite oligarki di sisi lain.17
Teori negara hukum mengharuskan lembaga-lembaga pemegang kekuasaan negara menjalankan kekuasaannya di bawah kendali hukum. Menurut E. Utrecht dalam Elviandri, dkk, fungsi negara ditentukan oleh tipe-tipe negara yang dianut. Umumnya negara yang berideologi hukum formal (klasik) mengenal tipe negara liberal individualis kapitalistik, sehingga dalam perwujudannya, negara yang bertipe semacam ini semata-mata bertindak sebagai penjaga malam (nachtwachter-staat, Nachwachter). dititik beratkan pada bagaimana menjamin dan melindungi status ekonomis dari kelompok yang menguasai alat-alat pemerintahan yang dalam sistem klas dikenal dengan istilah rulling elite,18 kelompok ini biasanya berjalan beriringan dengan oligarkhi.
Ideologi welfare state mengajarkan tentang peranan negara yang lebih luas ketimbang sekedar sebagai penjaga malam, yang oleh Utrecht dikatakan bahwa lapangan pekerjaan pemerintah suatu negara hukum modern sangat luas, yaitu bertugas menjaga keamanan dalam arti kata yang seluas-luasnya, yakni keamanan sosial di segala bidang kemasyarakatan dalam suatu welfare state. Sehingga ketika itu, para pemikir kenegaraan menyatakan bahwa masa ekonomi liberal telah ditinggalkan, sistem ekonomi liberal klasik diganti dengan sistem ekonomi yang dipimpin oleh pusat (central geleide economie), Staatssonthouding telah digantikan oleh Staatsbemoeenis, pemisahan antara negara dengan masyarakatnya telah ditinggalkan
Kembali ke proses dan substansi UU Cipta Kerja, apabila dianalisis dengan menggunakan standar good legislation making atau ILTAM, mengandung beberapa kelemahan. Pertama, penilaian resiko dan dampak pemberlakuan UU Cipta Kerja (Regulatory Impact Assessment) belum diterapkan. Hal ini tampak dari ketiadaan substansi mengenai penguatan pencegahan korupsi dan peningkatan kualitas pelayanan publik yang menjadi salah satu penghambat investasi masuk ke Indonesia sebagaimana hasil riset dari World Economic Forum (WEF) tahun 2017. Faktor utama penghambat investasi adalah Korupsi dan penegakan hukum yang lemah. Kedua, selama penyusunan UU Cipta Kerja, ruang partisipasi masyarakat yang hakiki tidak dilaksanakan. Hal ini tentunya telah jauh dari prinsip negara hukum, partisipasi dan transparansi. Ketiga, hal prinsip lainnya, UUD 1945, sebagai norma hukum tertinggi mengedepankan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (ecologically sustainable development) dalam perekonomian nasional (Pasal 33 ayat (4) UUD 1945). Akan tetapi, UU Cipta Kerja dinilai terlalu condong kepada pertumbuhan ekonomi semata yang dapat mengorbankan aspek perlindungan daya dukung ekosistem dan keadilan sosial untuk kepentingan generasi saat ini dan masa depan.
Tanpa internalisasi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan pada setiap pengaturan UU Cipta Kerja, maka UU Cipta Kerja tidak akan mencapai tujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi karena tidak mengikuti tren investasi dunia yang mulai beralih ke investasi yang memperhatikan pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan Pembangunan berkelanjutan tidak dapat dipisahkan dengan perbaikan tata kelola pemerintahan (governance). Selain itu, pertumbuhan investasi di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh iklim investasi yang dapat diukur dengan ease of doing business (EODB) index, tetapi juga iklim tata kelola pemerintahan secara umum
(governance) yang dapat diukur dengan World Governance Indicators (WGI). Apabila melihat WGI di tahun 2018 dan EODB index di tahun 2020, Indonesia ada pada posisi yang belum baik dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia dan Thailand. Artinya, apabila governance, termasuk peningkatan kualitas pelayanan publik dan pemberantasan korupsi dalam birokrasi, tidak dibenahi secara utuh, maka langkah-langkah pembenahan iklim investasi yang tercerminkan dalam UU Cipta Kerja tidak akan efektif.21
Jika kita fokus pada peningkatan peran perguruan tinggi juga sejalan dengan agenda pembangunan berkelanjutan yang disepakati dunia yang disebut dengan Sustainable Development Goals (SDGs), agenda yang ditujukan untuk mencapai kondisi dunia yang lebih baik pada tahun 2030 melalui 17 tujuan dan 169 target. Sejalan dengan kesepakatan tentang SDGs, pada tataran perguruan tinggi, telah hadir pula platform Higher Education Sustainability Initiative (HESI) guna mendukung SDGs. Platform HESI dengan pembangunan hijau tersebut telah diadopsi oleh 272 universitas di 47 negara.
Terakhir sebelum menutup orasi ilmiah ini ada baiknya kita melihat peringkat Indonesia dalam penegakan hukum yang terus menurut diikuti dengan indeks persepsi korupsi di Indonesia yang juga menurun. Dalam indeks supremasi hukum (rule of law index) yang dirilis World Justice Project tahun 2019, Indonesia berada pada urutan 102 dari 126 negara yang di survey. Tahun 2020 mengalami peningkatan naik menjadi urutan 59 dari 128 negara yang disurvey. Dan pada tahun 2021 posisi Indonesia turun pada urutan 68 dari 139 negara yang disurvey. Ada delapan faktor yang dipakai, yaitu pembatasan kekuasaan pemerintah (constraints on government powers) 31/139, absennya korupsi (absence of corruption) 98/139, pemerintahan terbuka (open government) 58/139, pemenuhan hak-hak dasar (fundamental rights) 88/139, keamanan dan ketertiban (order and security) 88/139, penegakan aturan (regulation enforcement) 54/139, Keadilan Sipil (civil justice) 105/139, dan penanganan perkara pidana (criminal justice) 90/139.
Di masa pemulihan ekonomi, ketika ekonomi global masih dilanda ketidakpastian, salah satu pilihan kita adalah mendorong ekonomi domestik dengan penguatan kemampuan dan peranan sektor UMKM. Pemerintah Indonesia saat ini telah menaruh perhatian pada penguatan sektor UMKM tersebut. Meski demikian, krisis ekonomi di masa pandemi ini telah menunjukkan bahwa sektor UMKM, khususnya usaha kecil dan mikro, tidak cukup mampu untuk menciptakan nilai tambah. Oleh karena ini, menurut hemat saya penguatan peranan sektor UMKM perlu disertai juga dengan penguatan kemampuan inovasi.
Saya memandang penting bahwa program penelitian dan pengabdian masyarakat UGR untuk tahun 2022, dan beberapa tahun ke depan, memberikan prioritas pada kegiatan-kegiatan yang mendukung program pemulihan ekonomi nasional. Kita tidak tahu persis, strategi pemulihan ekonomi seperti apa yang paling tepat. Kita perlu pendekatan learning by doing dan learning by experimentation.
Secara umum ada beberapa bidang yang dapat menjadi prioritas perhatian kita. Yang pertama adalah eksplorasi pemanfaatan teknologi digital untuk mendukung pemulihan sektor UMKM dan sektor-sektor ekonomi lain yang terdampak. Yang kedua adalah bidang kesehatan, pangan dan energi baru/terbarukan. Yang ketiga adalah peningkatan kemampuan inovasi dan penciptaan nilai tambah sektor UMKM, untuk tujuan peningkatan produksi dalam negeri. “kunci dari keberhasilan kalau kita pelajari negara maju yang ada adalah pada inovasi, ekonomi berbasis inovasi, dengan kata lain kita harus mengubah pola pikir kita dari ekonomi yang berbasis sumberdaya alam menjadi ekonomi yang berbasis inovasi”. Selain ini semua, kita juga perlu untuk menjaga serta meningkatkan komunikasi dan koordinasi dengan berbagai pihak secara lebih dekat dan kontinu, sehingga bisa memberikan respons secara lebih cepat dan tepat. Beberapa kata kunci di masa pemulihan ekonomi nasional adalah: inovasi, resiliensi, solidaritas, dan engagement.
oleh Basri Mulyani