HAMPIR satu bulan lebih pelantikan kepala daerah sudah berlangsung, dengan segala dinamika yang ada di dalamnya. Ada satu fenomena yang selalu menarik perhatian pada setiap pemerintahan, yaitu akan ada sekelompok orang yang gemar “ngelong-elong” istilah dalam masyarakat Sasak—ikut-ikutan dan menempel pada kekuasaan seolah-olah mereka memiliki pengaruh besar.
Mereka berusaha menunjukkan kedekatan dengan pejabat, ikut nimbrung dalam setiap agenda politik, dan membangun citra seolah-olah mereka adalah bagian dari lingkaran pengambil kebijakan. Padahal, kenyataannya, posisi mereka dalam kekuasaan hampir tidak ada.
Fenomena ini bisa kita lihat dalam berbagai bentuk. Ada yang rajin mengunggah foto bersama bupati atau wakil bupati di media sosial dengan caption yang penuh sanjungan. Ada yang sibuk memberi komentar seolah-olah mereka adalah penasehat utama kepala daerah. Bahkan, tidak sedikit yang merasa berhak berbicara atas nama pemerintah hanya karena pernah duduk semeja dengan pejabat dalam satu acara.
Masalahnya, dalam politik, posisi tawar seseorang ditentukan oleh kontribusi nyata, bukan sekedar kedekatan semu. Seorang pemimpin tidak akan begitu saja memikirkan masukan dari mereka yang hanya hadir untuk “numpang eksis” tanpa memberikan gagasan atau solusi konkret.
Orang-orang ini lebih banyak menjadi penonton yang berisik dibandingkan aktor yang benar-benar berperan dalam memutar pemerintahan. Lebih lucu lagi, ketika kekuasaan berganti, mereka dengan mudahnya berpindah haluan.
Orang yang hari ini, mati-matian membela seorang pemimpin, bisa saja besok memuji lawannya dengan retorika yang sama. Mereka tidak punya prinsip, yang penting tetap berada di dekat pusat kekuasaan.
Lalu, kenapa fenomena “ngelong-elong” ini tetap ada? Salah satunya karena ada kebutuhan psikologis untuk merasa penting. Banyak orang ingin diakui, dihormati, dan dianggap sebagai bagian dari kekuasaan, meskipun tanpa kontribusi nyata.
Selain itu, sebagian berharap mendapat keuntungan, baik itu proyek, jabatan, atau sekadar akses ke fasilitas tertentu. Namun, sejarah menunjukkan bahwa mereka yang hanya “ikut-ikutan” dalam politik biasanya akan tersingkir dengan sendirinya.
Ketika kekuasaan berubah, mereka tidak memiliki fondasi yang kuat untuk bertahan. Mereka yang benar-benar dihargai adalah mereka yang bekerja, memikirkan strategi, dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, bukan sekadar menempel dan mengklaim kedekatan.
Jadi, bagi mereka yang masih gemar ” ngelong-elong ,” mungkin sudah saatnya bertanya: Apakah saya benar punya posisi tawar, atau hanya sekedar pelengkap yang tidak pernah diperhitungkan?***