Fokus Opini

Hegemoni Media Pada Pilkada 2024

×

Hegemoni Media Pada Pilkada 2024

Share this article

Penulis: Anggara (Pengawas Tempat Pemungutan Suara Kecamatan Sambelia Pilkada Serentak Tahun 2024)

PADA abad informasi seperti saat ini, media merupakan alat hegemoni yang sangat sentral perannya dalam menyampaikan ide dan gagasan. Tentu saja ini disebabkan karena jangkauan yang luas dan akses yang lebih terbuka. Media semakin mewarnai dengan sangat pekat kehidupan komunikasi, tak terkecuali politik mengenai pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang pada tangga 27 November 2024 nanti kita masuk pada proses pemilihan yang kian hari terus diperbincangkan.

Di waktu yang sama, rekayasa media membuat suatu kondisi sedemikian rupa, sehingga di dalamnya semua dianggap lebih nyata kenyataan; kepalsuan dianggap lebih benar dari kebenaran; isu lebih dipercaya ketimbang informasi; rumor dianggap lebih benar ketimbang kebenaran. Kita tidak dapat lagi membedakan antara kebenaran dan kepalsuan. Hal tersebut rasanya sulit dibedakan akibat penyuguhan yang begitu masif dan deras melalui media. Derasnya informasi melalui media ini terkadang menyuguhkan suatu yang direkayasa yang berlangsung secara halus dan tak nampak, sehingga tak disadari oleh kita, hal semacam ini disebut sebagai hipertalitas media.

Mengingat dunia politik sarat dengan beraneka  ragam “suguhan”. Politisi gemar menyuguhkan ragam kampanye demi mendapatkan simpati rakyat. Kaum politisi juga tak kalah kreatifnya dalam memanfaatkan media sosial untuk tujuan-tujuan tertentu. Sebut saja dalam membuat konten-konten kampanye hingga menggunakan media (online atau mainstream) untuk membenarkan pendapat pribadi, sikap dan perilaku dirinya.

Pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 para kaum politisi sudah masuk gelanggang untuk berupaya memenangkan pertarungan. Diakui atau tidak-diakui sebenarnya secara profesional perlu bahkan wajib kreatif mencari, menemukan, bahkan merekayasa suatu topik atau isu demi mengoptimalkan ide-ide kampanye. Tim pemenangan perlu kreatif menciptakan konten demi menyentuh semua kalangan. Bahkan tim pemenangan hari-hari menggunakan lembaga survei dan media demi menggiring opini publik.

Semenjak terbitnya aturan yang membolehkan penggunaan lembaga survai dalam demokrasi kita secara tegas mempengaruhi dinamika politik nasional kita. Keberadaan lembaga survei yang berfungsi untuk mendokumentasikan jejak pendapat publik ini telah diatur berdasarkan undang-undang (UU) pada Pasal 448 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang mengamanahkan bahwa Pemilu diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat. Salah satunya melalui jejak pendapat atau survai dan hitung cepat yang sering kita tunggu pada setiap momentum Pemilu.

Mujaddid Muhas, M.A. dalam tulisannya yang berjudul “Pertanggungjawaban Sosial Survei” dengan tegas mengatakan ketika penyelenggara survei yang dengan gampang mengumumkan hasil surveinya akan lebih mudah pula menggiring justifikasi opini public. Bahkan, seorang yang kerap kali mengamati perkembangan politik kita khususnya di NTB ini dengan tegas pula mengatakan; banyak penyelenggara survei yang tidak kredibel dengan mudah mengumumkan hasil surveinya. Fenomena seperti ini disebut lembaga penyelenggara survei seolah seperti hinggap pada ruang gagap demokrasi.

pada ruang gagap demokrasi.
Penggunaan media kini semakin kental kita saksikan pada Pemilu atau khususnya di Pemilihan gubernur (Pilgub) NTB yang direbutkan oleh tiga pasang calon yakni: pasangan yang popular dikenal Rohmi-Firin, pasangan Zul-Uhel, dan pasangan Iqbal-Dinda.  Sebagai contoh, tak lama pasca debat pertama pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur (23/10/2024) langsung dengan marak di media social seperti Facebook dan grup-grup Whatsapp dan lainnya menyuguhkan hasil penilaian warga NTB yang masing-masing calon memenangkan debat pertama tersebut. Dari sekian poling yang beredar, setidaknya ditemukan hasil poling yang pertama memenangkan pasangan Rohmi-Firin berdasarkan: Kepuasan dan Ketelitian Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan dengan angka 43,5%, lalu disusul oleh pasangan Iqbal-Dinda dengan angka 28,5%, dan pasangan Zul-Uhel 20,5%. Sementara itu, kriteria penilaian berdasarkan: Penguasaan Materi, Kepuasan Penyampaian Visi  dan Misi, Penguasaan Tanya Jawab, dan Ketepatan Menjawab pada poling tersebut dimenangkan oleh pasangan Iqbal-Dinda dengan angka 41%, lalu disusul Rohmi-Firin 33%, dan Zul-Uhel dengan 26%. Ditemukan pula pada poling lain yang menyebutkan, survei media online kepuasan warga net terhadap peforma calon di menangkan oleh pasangan Zul-Uhel dengan angka 46,7%, Rohmi-Firin, dan diikuti oleh pasangan calon Iqbal-Dinda dengan angka 211%. Sementara yang menyatakan netral 5,3%.

Perbincangan lain yang muncul dalam ruang-ruang publik sebagai sebuah diskursus yang tak kalah hangatnya ialah mengenai elektabilitas masing-masing calon. Setidaknya ada dua lembaga survei yang pernah menunjukkan elektabilitas ke-3 pasangan calon menjelang Pilgub NTB 2024. Kedua lembaga survei tersebut ialah Nusra Institute dan Indonesia Political Opinion (IPO). Hasil survei Nusra Institute yang dilakukan pada 9-13 September 2024 lalu, elektabilitas Iqbal-Dinda memperoleh 31,0%, disusul Rohmi-Firin 29,3%. Sementara Zul-Uhel pada angka 15,9%. Sementara pada hasil survei IPO yang dilakukan paada 23-27 September 2024 mempotret elektabilitas Iqbal-Dinda mencapai 28,4%, Zul-Uhel 24,2%, kemudian Rohmi-Firin 20,5%.

Dilansir dari media ANTARANTB, Pengamat Hukum dari Universitas Mataram, Prof. Kurniawan mengatakan, hasil survei Pilgub NTB 2024 yang banyak beredar di masyarakat lebih menonjolkan kepentingan calon yang membayar. Dirinya menyatakan bahwa hasil pengamatannya di media sosial ada lembaga survei A menyampaikan hasil calon A yang menang. Sedangkan lembaga survei B yang menang calon B, begitu juga lembaga survei C hasilnya calon C yang menang.

Dengan munculnya berbagai dinamika politik Pilkada kita di NTB di atas, khususnya maraknya informasi yang berseliweran di berbagai platform. Sangat wajar apa bila pertanyaan-pertanyaan mendasar patut kita ajukan, misalnya, apakah semua yang muncul “informasi” pada semua platform media tersebut merupakan cerminan sesungguhnya atau refleksi dari realitas di lapangan? Atau malah sebaliknya? Saya pikir jawabannya bisa ia atau tidak. Jika suatu informasi sudah dikendalikan oleh berbagai kepentingan di baliknya atau melatarbelakanginya, maka sering kali dianggap atau bahkan dituduh realitas sesuai dengan kepentingan yang ada di baliknya. Sebab informasi tersebut tidak dapat dipisahkan dari siapa atau apa di balik informasi tersebut. Artinya, sebuah informasi tersebut disusupi kepentingan untuk mempengaruhi pengkonsumsinya secara tersembunyi (tidak terlihat dan halus), dan informasi tersebut secara tidak sadar mengubah pandangan pengkonsumsinya. Begitupun sebaliknya.

Tentu kita masih ingat menjelang pemungutan suara pada Pilpres 2024 lalu banyak hasil survei yang menilai calon Presiden yang saat ini sudah menjabat “Prabowo Subianto” yang hasilnya bisa menang dengan satu putaran. Misalnya, sebut saja hasil survei Populi Center  dengan angka 52,5%. Survei Indikator: 71,8% responden percaya Prabowo-Gibran menang satu putaran. Dan masih banyak lagi. Lepas dari kontroversi yang terjadi dengan hasil survei tersebut, Pilpres 2024 pasangan Presiden-Wakil Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memenangi Pilpres 2024 dalam satu putaran. Pasangan nomor urut 2 itu meraup 96.214.691 atau 58,6% dari total suara sah nasional.   Akankah hasil-hasil survei di atas akan sama hasilnya dengan hasil survei pada Pilpres 2024 lalu?.

Sebagai sebuah alat hegemoni yang di dalamnya ide-ide hegemoni yang disebarluaskan bahkan diperebutkan melalui berbagai media. Keberadaan media online termasuk media massa kerap menjadi alat hegemoni. Dalam beberapa kasus yang tak lepas dari pengamatan penulis alat hegemoni ini tak cendrung pasif. Artinya, dalam rangka mengupayakan tujuan bisa tercapai, totalitas pemanfaatan media begitu masif untuk membentuk sebuah ruang tempat berlangsungnya sebuah perang Bahasa atau perang simbol dalam rangka memperebutkan penerimaan publik atas gagasan-gagasan yang diperjuangkan secara terus menerus dan sesuai perkembangan realita. Maka tak heran di dalam medan hegemoni, sangat penting peran bahasa, simbol, dan tanda-tanda yang disebarluaskan melalui media dalam perjuangan dalam merebutkan penerimaan publik.  Sebab dalam masyarakat informasi seperti saat ini, sangat mengandalkan kekuatan Bahasa dan simbol dalam perjuangan mengambil hati publik. Kecendrungan yang tak pasif ini lah yang dipahami. Bahkan pada tingkat tertentu, mereka memahami bahwa di dalam era informasi dewasa ini, tidak akan berarti dan berpengaruh apa-apa bila ia tidak mampu dikemas menjadi sebuah kemasan informasi, sehingga melaluinya  keseluruhan proses sosial dapat dikendalikannya. 

Sebagai pengetahuan, selain media dalam bentuknya yang kapitalistik maupun totaliter. Media, media pada kenyataannya mengandung di dalamnya paradoks pengetahuan. Artinya mengandung objektivitas dan subjektivitas, antara kebenaran dan kepalsuan, antara fakta dan rekayasa. Dalam keadaan tertentu, hipertalitas media kadang “melampaui” realitas. Hal semacam ini tentu saja tidak kita inginkaan dalam peta demokrasi kita (Pilkada NTB).

Dari sejumlah dinamika yang terjadi dia media, dengan segala sajiannya. tentu saja penulis secara pribadi berharap Pilkada kali ini tetap memberi kesan dan makna Pilkada tidak hanya dilihat dari sisi dari sisi apakah terlaksana dengan baik atau tidak, secara demokratis atau tidak. Tapi sejauh mana masyarakat dapat memilih calon pemimpinya secara tepat yang didasari dari pengumpulan informasi yang benar dan secara realitas. apa bila suatu seseorang memilih berdasarkan informasi yang salah maka barang tentu ia memilih suatu yang salah. Kita tidak ingin hipertalitas media menghadapkan kita sebagai suatu masyarakat pada sebuah kondisi yang penuh dengan kepalsuan.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *