LOMBOK TENGAH | FMI.COM – Beberapa tahun terakhir ini, orang-orang yang terkena dampak proyek pembangunan sirkuit Mandalika di Lombok Nusa Tenggara Barat (NTB) telah melakukan protes.
Mereka menuntut untuk diperlakukan secara manusiawi tanpa intimidasi atau paksaan, dan untuk menerima kompensasi yang sepadan dengan nilai tanah, properti, dan tanaman mereka yang telah digusur untuk membangun Sirkuit.
Demikian disampaikan direktur wahana lingkungan hidup indonesia nusa tenggara barat (WALHI NTB) Amri Nuryadi mewakili Koalisi Indonesia Pemantau Pembangunan Infrastruktur (KIPPI) melalui keterangan tertulis yang diterima redaksi kliklombok.com, Sabtu kemarin.
Karena peristiwa tersebut, jelas Amri, koalisi menuntut agar Federation Internationale de Motocyclisme (FIM) dan Dorna WSBK Organisation (DWO) untuk membatalkan penyelenggaraan acara internasional di sirkuit Mandalika sampai para korban penggusuran paksa diberikan kompensasi yang adil dan perumahan permanen.
“Federation Internationale de Motocyclisme dan Dorna WSBK harus belajar dari Mandalika dan melakukan penilaian secara menyeluruh terkait dampak hak asasi manusia dan tanah di sirkuit sebelum menyetujuinya untuk acara internasional,” tulisnya
Kemudian, jelas Amri, koalisi mendesak agar pemerintah Indonesia segera mengeluarkan anggota TNI dan Polri dari satuan tugas pengadaan tanah, dan memastikan bahwa masyarakat adat tidak terintimidasi atau dipaksa untuk meninggalkan tanah mereka atau terkena dampak negatif selama acara balap internasional yang diadakan di Mandalika.
Amri juga mengingatkan ITDC untuk menghormati kebijakan lingkungan dan social AIIB dan prinsip-prinisip hak asasi manusia yang diakui secara internasional, terutama yang terkait dengan penduduk asli, dan mengakhiri keterlibatan pasukan keamanan dalam proses pembebasan tanah di Mandalika.
“ITDC juga harus menyelesaikan sengketa tanah yang sedang berlangsung dengan menawarkan pertukaran tanah untuk tanah, dan kompensasi yang tepat kepada korban, tidak hanya untuk tanah dan properti yang hilang, tetapi juga untuk hilangnya pendapatan dari tanaman dan sumber daya alam,” tegas Direktur WALHI NTB itu.
Bahkan koalisi juga menuntut agar AIIB berhenti membiayai proyek Pengembangan Pariwisata Mandalika, mengingat dampak negatif yang terus berlanjut terhadap masyarakat adat.
“Sebagai penyandang dana yang berdiri sendiri, AIIB memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa kliennya ITDC menghormati perlindungan lingkungan dan sosial bank serta hak asasi manusia internasional, terutama yang berkaitan dengan tanah dan masyarakat adat,” ujarnya
Untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas penuh, jelas dia, AIIB harus segera mengungkapkan audit tanah yang menjadi dasar bagi bank untuk memberi lampu hijau pada proyek Mandalika, penilaian mereka terhadap implementasi ITDC terhadap perlindungan lingkungan dan sosial AIIB, serta hasil pemantauan dan rencana pengelolaan penggunaan personel keamanan.
“AIIB juga harus segera melaksanakan rekomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa dan memungkinkan penyelidikan independen dan tidak memihak terhadap proyek Mandalika untuk memastikan bahwa penduduk asli di seluruh dunia tidak dirugikan oleh proyek-proyek pembangunan yang dirancang dan dilaksanakan tanpa persetujuan mereka,” ketusnya
Sebagai informasi, lembaga yang tergabung dalam koalisi tersebut diantaranya, WALHI Sulawesi Selatan, Satya Bumi, WALHI Jawa Barat, WALHI Nusa Tenggara Barat, INDIES, Indonesia for Global Justice, Lembaga Studi dan Bantuan Hukum (LSBH) NTB, Lembaga Bantuan Hukum – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBH-YLBHI) Mataram, Pusat Studi Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat (PUSAKATA) Indonesia, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) NTB, Yayasan Pendidikan Lingkungan Sulawesi Selatan, Green Youth Movement, Just Finance Internationals, dan Both ENDS.***