Nasional

Mahasiswa, Demokrasi, dan Tantangan Zaman Digital: Suara dari Diskusi Publik KMPB

×

Mahasiswa, Demokrasi, dan Tantangan Zaman Digital: Suara dari Diskusi Publik KMPB

Share this article

JAKARTA | FMI – Di tengah arus deras informasi dan riuh rendah politik digital, sekelompok mahasiswa dari Koalisi Mahasiswa Peduli Bangsa (KMPB) mencoba mengambil peran lebih dalam menjaga marwah demokrasi Indonesia.

Bertempat di kawasan Raden Saleh, Menteng, Jakarta Pusat, KMPB bersama Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) dan sejumlah universitas se-Jakarta menggelar diskusi publik bertajuk “Peran Strategis Mahasiswa dalam Mengawal Demokrasi dan Integrasi Pemilu di Indonesia”.

Diskusi yang dimulai pada Jumat pukul 14.00 ini bukan sekadar ruang akademik biasa. Lebih dari itu, ia menjadi ruang kontestasi gagasan, refleksi atas kondisi demokrasi Indonesia, dan seruan kepada mahasiswa agar tidak menjadi penonton pasif di tengah dinamika bangsa.

Demokrasi dan Tiktok: Apakah Kita Sedang Mundur?

Salah satu sorotan menarik datang dari pengamat politik Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo, yang menyoroti fenomena pembatasan fitur live di platform TikTok. Ia mempertanyakan: apakah ini bentuk perlindungan terhadap keamanan nasional, atau justru bentuk kemunduran demokrasi?

“Kalau penonaktifan dilakukan oleh pemerintah, maka ini bisa menjadi isu demokrasi. Namun kalau inisiatif dari platform karena situasi sosial politik yang kacau, itu soal lain,” ujarnya.

Dengan 108 juta pengguna aktif, TikTok kini menjadi platform ketiga terbesar di Indonesia. Maka tak heran jika aksi-aksi politik digital, termasuk demonstrasi, kini beralih ke layar-layar ponsel.

Perbandingan pun muncul dari Papua, di mana pemerintah sempat memperlambat akses internet saat terjadi kerusuhan. Langkah ini sempat digugat di pengadilan, menunjukkan bahwa ruang digital kini menjadi medan baru demokrasi — atau represi?

Mahasiswa, Dimana Posisi Strategismu?

Amsar A. Dulmanan, akademisi dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), menekankan bahwa mahasiswa punya pilihan strategis: menjadi kelompok penekan (pressure group) atau masuk ke kelompok interes, yakni partai politik. Ia tak menampik bahwa demokrasi Indonesia belum ideal, tapi justru di situlah
“Demokrasi bukan barang mati. Ia harus terus ditafsirkan dan dijaga,” kata mantan aktivis PMII Jakarta ini.

Ia pun mengajak mahasiswa untuk mendalami pendekatan teoritik terhadap demokrasi, dari Karl Marx hingga Emile Durkheim dan Max Weber, serta merefleksikannya dalam konteks lokal Indonesia.

Baginya, demokrasi Indonesia adalah pilihan sadar sejak bangsa ini memilih bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Maka, memperbaikinya bukan sekadar tugas pemerintah, tapi tanggung jawab kolektif, termasuk mahasiswa.

Demokrasi Cacat, Tapi Bukan Mati

Berdasarkan indeks demokrasi internasional, posisi Indonesia masih memprihatinkan. Bahkan, berdasarkan riset dari Economic Intelligence Unit, Indonesia kini berada di bawah Timor Leste dalam peringkat demokrasi di Asia. Fenomena money politics pun kian mengkhawatirkan.

Pada 2019, tingkat toleransi terhadap praktik ini sekitar 43%, namun pada 2024 melonjak menjadi 65–70%.

“Apakah kita masih punya pemilu langsung? Masih. Tapi apakah substansinya terjaga? Ini yang jadi pekerjaan rumah kita,” ungkap salah satu narasumber diskusi.

Sementara itu, Arief Rosyid menambahkan bahwa realitas demokrasi saat ini adalah campuran antara sistem terbuka dan tertutup. Ia menyebutkan bahwa 60–70% politik kini dikendalikan secara tertutup, hanya sekitar 30–40% ruang demokrasi yang benar-benar terbuka bagi publik.

Tren politisi berlatar belakang pengusaha juga meningkat signifikan. Pada 2019 sekitar 40%, dan pada 2024 mencapai 60%. Ini menandakan bahwa politik uang dan kekuasaan ekonomi makin berkelindan dalam proses demokrasi.

Bukan Hanya Turun ke Jalan, Tapi Menjaga Kesadaran

Diskusi publik ini menjadi pengingat bahwa peran mahasiswa tak boleh selesai hanya di ruang kelas atau turun ke jalan. Mahasiswa harus menjaga kesadaran kritis, mengawal pemilu yang bersih, dan mendorong demokrasi yang substantif.

Demokrasi bukan hanya tentang memilih, tapi tentang memelihara ruang berbeda pendapat, menjaga akses informasi, dan mencegah dominasi oligarki. Seperti agama yang melahirkan banyak mazhab, demokrasi pun tidak tunggal.

Ia fleksibel namun harus memiliki prinsip dasar: kedaulatan rakyat.
KMPB melalui kegiatan ini membuktikan bahwa mahasiswa belum kehilangan suaranya. Di tengah tantangan zaman digital, masih ada bara yang menyala — menolak tunduk pada demokrasi yang dibajak oleh kekuatan uang, algoritma, atau kekuasaan semata.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *