Nasionalpendidikan

Mahasiswa KKN UIN Walisongo, Gelar Webinar “Humanity Above Religion”

×

Mahasiswa KKN UIN Walisongo, Gelar Webinar “Humanity Above Religion”

Share this article

Semarang, FMI – Mahasiswa Kuliah Kerja Nyata Mandiri Inisiatif Terprogram Dari Rumah (KKN MIT DR) ke 11, kelompok 68 Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang menggelar Webinar Moderasi Beragama bertajuk “Humanity Above Religion, miskonsepsikah?”. Selasa (16/2/21).

Acara webinar ini dimulai pukul 10.00 WIB secara daring melalui aplikasi zoom meeting dengan peserta sebanyak 50 orang dengan menghadirkan dua pemateri, yaitu Drs. H. Taslim Syahlan, M.Si (Ketua FKUB Provinsi Jawa Tengah) dan Pdt. Enos Bayu Setiyadi, S.Si (Ketua Departemen Kesaksian & Pelayanan GKI SW Jawa Tengah), yang dimoderatori Syarifal Hanan dari Fakultas Ushuluddin.

Di arus global, kasus-kasus kekerasan hingga terorisme memang berkelindan dengan faktor-faktor ekonomi-politik. Namun, ditingkat lokal dan masyarakat akar rumput, kasus-kasus kekerasan bernuansa agama acapkali dimotivasi oleh cara pandang intoleran dan ekstrim dalam melihat dan menyikapi keberagaman.

Isu-isu global bekerja untuk mengkristalisasi sektarianisme, sekaligus menjadi justifikasi bahwa permusuhan dan konflik atas nama agama memang merupakan sesuatu yang laten.

Penguatan moderasi beragama di Indonesia, saat ini penting dilakukan. Berdasarkan fakta bahwa Indonesia adalah bangsa yang sangat majemuk dengan berbagai macam suku, bahasa, budaya dan agama. Indonesia juga merupakan negara yang agamis walaupun bukan negara berdasarkan agama tertentu.

Selain itu, moderasi beragama juga penting untuk digaungkan dalam konteks global di mana agama menjadi bagian penting dalam perwujudan peradaban dunia yang bermartabat.

Lalu bagaimana cara kita memahami ajaran agama itu yang kemudian akan terwujud pada prilaku dalam kehidupan?


“Tujuan dari seminar moderasi beragama ini untuk membangkitkan semangat bangsa Indonesia terutama generasi milineal dalam mewujudkan NKRI yang kuat dan maju meski dalam suasana pandemi, komitmen kebangsaan melalui dasar negara, sikap toleransi, anti kekerasan (tidak ada agama apapun yang mengajarkan suatu kekerasan),” kata Fina selaku ketua acara Webinar

Sementara itu, Pdt. Enos mengatakan, moderasi beragama sangat dibutuhkan dalam kehidupan, terutama pada negara dengan kebudayaan dan agama yang beraneka ragam. Karena, keberadaan moderasi beragama mampu mengawal kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita sebagai makhluk sosial harus bisa menyikapi permasalahan-permasalahan yang ada di Indonesia, apalagi di era sekarang ini.

“Seringkali terjadi seseorang manusia dibenci karena faktor etnis, agama, gender dan lain-lain. Yang sering dilupakan bahwa sisi seseorang sebagai sama-sama sebagai manusia yang seyogyanya saling menghormati sering terlupakan, terdinding oleh baju etnis, agama, gender dan lain-lain. Dengan demikian, keberagamaan ini berkaitan erat dengan interpretasi atau pemahaman seseorang terhadap ajaran-ajaran agama yang tertuang dalam kitab suci.” Papar beliau.

Pada kesempatan yang sama, Ustadz Taslim menyampaikan bahwa Kemuliaan agama itu tidak bisa ditegakkan dengan cara merendahkan harkat kemanusiaan. Nilai moral agama juga tidak bisa diwujudkan melalui cara yang bertentangan dengan tujuan kemaslahatan umum. Begitu pula esensi agama, tidak akan bisa diajarkan dengan cara melanggar ketentuan-ketentuan hukum yang sudah disepakati bersama sebagai panduan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

“Ada empat indikator moderasi beragama yakni, komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal,” terangnya.

Lebih lanjut, ia menyadari bahwa perbedaan adalah sunatullah, keanekaragam adalah fitrah bangsa, pancasila adalah cermin nilai asli masyarakat dan mengajarkan agama yang ramah, toleran serta menghargai keberagaman. Sehingga kita harus melihat lingkungan, jangan terlalu individualis.

“Peduli terhadap lingkungan itu sangat diperlukan agar kita tidak merasa paling benar. Tanamkan sikap toleran dan moderat pada diri sendiri agar tidak terjebak pada persoalan yang bermunculan terkait persoalan radikal di masyarakat. Ketika yang harus didahulukan adalah kemanusiaan daripada agama, maka sesungguhnya manusia telah menjadi diri seutuhnya. Seberapa besar kewajiban manusia untuk beragama sesungguhnya tergantung kepada seberapa besar manusia membutuhkan agama untuk menjadi manusia yang seutuhnya.” Tandasnya.

Agama selalu menganjurkan kemanusiaan. Ketika agama melarang manusia untuk berbuat, maka hakikatnya agama melarang kerusakan-kerusakan yang dapat mengurangi nilai-nilai kemanusiaan. Begitupun sebaliknya ketika agama menganjurkan manusia untuk berbuat, sesungguhnya agama mengembalikan manusia kepada kemanusiaannya, atau paling tidak agama sedang mengokohkan kemanusiaan manusia.

Tidak dapat dipungkiri, sambungnya. Bahwa semua agama menganjarkan nilai-nilai kemanusiaan, dan juga tidak dapat dipungkiri bahwa tidak sedikit tindakan-tindakan manusia yang bertentangan dengan kemanusiaan atas nama agama. Namun, hal ini harus dikembalikan kepada bahwa ajaran agama tergantung kepada pemahaman manusia terhadapnya, karena sering sekali agama dipahami secara sangat tekstual sehingga, disadari atau tidak, telah melepaskan agama dari sejarah risalahnya. Dengan demikian, maka tidak heran ketika seorang beragama kemudian menjadi keras dan begitu pula yang menjadi lemah lembut.

Kebebasan beragama dalam pandangan Islam berarti setiap agama diakui eksistensinya dan para pemeluknya diberi hak sebebas-bebasnya untuk memberlakukan hukum-hukum agama dan pandangan hidupnya selama tidak benturan dengan moral dasar manusia dan tidak menganggu ketertiban umum.

“Prinsip toleransi merupakan salah satu prinsip dasar sebagai bangsa yang satu, berintegrasi, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kesatuan. Dengan adanya pancasila yang memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika, perbedaan bukanlah suatu penghalang bersatunya tiap individu di Indonesia, melainkan perbedaan itulah yang mempersatukan kita. Perhatian semacam inilah yang perlu ada dan menjadi pedoman untuk masyarakat Indonesia saat ini,” tutupnya.

Penulis : Arie Zayyin Qurrotul Aini
Redaksi-FMI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *