Penulis : Baiq Kartika Wulandari (Alumni Universitas Muhammadiyah Yogyakarta).
Krisis pandemic Covid-19 yang melanda seluruh negara di dunia menimbulkan berbagai persoalan. Mulai dari bidang ekonomi, pemerintahan, hingga berpengaruh pada bidang pendidikan.
Spesifik isu yang saat ini tengah menjadi masalah utama dalam dunia pendidikan di Indonesia ialah sistem pembelajaran online di masa pandemic. Siswa terpaksa diharuskan untuk belajar mandiri dirumah dengan melakukan pembelajaran secara online. Dengan diberlakukannya sistem pembelajaran online ini sebagian siswa merasa kesulitan untuk memahami materi yang diajarkan. Selain itu tak sedikit juga orang tua yang mengeluhkan tentang kondisi pembelajaran yang dirasa kurang efektif bagi anak mereka. Peran guru ketika di sekolah pun hilang karena para siswa harus belajar dari rumah tanpa penjelasan rumit seperti biasanya.
Pembelajaran online dengan menggunakan gadget atau handphone dirasa sangat tidak efektif. Sebagian siswa malah hanya bisa menyalahgunakan fungsi dari gadget mereka hanya untuk melakukan komunikasi (chatting) dengan pacar atau teman dekat, bukan untuk belajar. Hal ini tentu sangat berbahaya. Akibat dari kebosanan belajar dari rumahlah yang kemudian membuat beberapa siswa di Pulau Lombok justru memilih untuk menikah saja.
Dilansir dari situs Inside Lombok (15/09/2020), viral dua anak usia SMP menikah. Kejadian tersebut terjadi di Lombok Tengah yakni Dusun Montong, Kecamatan Jonggat. Sang anak yakni pengangtin Pria berinisial S berusia 16 tahun sementara pengantin wanita berinisial NH berusia 14 tahun.
Konflik ini bermula pada saat si S mengajak NH berjalan-jalan menuju salah satu tempat wisata yakni Abangan Waterboom di Desa Pengenjak. S mengantar NH pulang diwaktu yang sudah petang, hingga ayah NH pun merasa keberatan. Karena hal tersebut akhirnya S membawa NH pulang kerumahnya lantaran ayah NH tidak mau menerima anaknya untuk dipulangkan kerumah di jam petang.
Pernikahan pun akhirnya dilangsungkan tanpa kehadiran ayah dari NH dan hanya diwakilkan oleh ketua RT sebagai walinya. Pernikahan berlangsung secara hukum Islam dan belum bisa untuk didaftarkan di Kantor Urusan Agama (KUA) mengingat usia dari kedua mempelai yang masih dibawah umur. Kasus yang menimpa S dan NH ini masuk dalam kategori Child Marriage atau Pernikahan Anak.
Kasus Child Marriage atau Pernikahan Anak memang sangat rentan terjadi di Indonesia. Terlebih dengan masih kuatnya budaya Patriarki yang dimiliki oleh lingkungan sekitar. Sehingga tak sedikit dari masyarakat yang rela mengorbankan anak hingga harus menikah di usia dini.
Pernikahan dikategorikan sebagai pernikahan dini apabila sang anak yang menikah berumur kisaran 14-15 tahun. Perlu diketahui bersama, prihal Persoalan Pernikahan telah diatur jelas dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Salah satunya yakni menyangkut umur. Bagi perempuan minimal berusia 21 tahun dan laki-laki minimal berusia 25 tahun.
Fenomena Child Marriage ini tentu sangat disayangkan, pihak sekolah tidak bisa berbuat banyak walaupun mereka sudah memberikan sosialisasi tentang bahayanya pernikahan dini. Disini hanya akan ada peran orangtua yang sangat dibutuhkan. Karena orangtualah yang menjadi kunci dari segala aspek masalah yang dihadapi anak. Kurangnya perhatian orangtua dalam mengontrol kegiatan anak dirumah akan menyebabkan kasus pernikahan dini ini akan terulang kembali. Karena seperti yang kita ketahui, selama pandemi ini anak 24 jam berada didalam rumah dan dalam pengawasan orangtua. Jadi semua kegiatan sudah semestinya bisa terkontrol dengan baik oleh orangtua.
Child Marriage atau Pernikahan Anak sudah sepatutnya untuk dihentikan. Setiap element masyarakat hendaknya harus lebih peduli tentang masalah yang satu ini. Mari lebih mengedukasi diri dan lingkungan sekitar akan bahayanya pernikahan dini. Jangan biarkan beban moral ini menghentikan masa depan anak kita. Mari bersama untuk perangi kasus Child Marriage mulai dari hari ini.