Artikel

Memahami Konsep Ontologi Dalam Ekonomi Islam

×

Memahami Konsep Ontologi Dalam Ekonomi Islam

Share this article

Oleh : Julia Anggraini

Memahami konsep Ontologi berdasarkan literatur filsafat ekonomi Islam karya Mashur (2020), bahwa Ontologi sebagai hal terpenting dalam kajian filsafat yang menelaah keberadaan suatu (hakikat), sesungguhnya yang ada, atas dasar relasi yang sistematis serta berpijak pada hukum sebab akibat (kausalitas), yaitu ada manusia, alam, dan causa prima dalam suatu hubungan menyeluruh, teratur dan tertib dalam keharmonisan.

Selain itu, M. Umar Maya Putra dkk mengemukakan dalam Jurnal Wira Ekonomi Mikroskil Volume 6, Nomor 01, April 2016 bahwa dalam menjaga sumber daya alam, setiap manusia perlu memanfaatkan segala sesuatu agar dapat mensejahterakan generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

Konsep ontologi dapat dijadikan suatu arah dalam melihat sikap manusia secara filsafat, untuk lebih mengerti dalam menjaga keutuhannya sesuai dengan kaidah ekonomi. Hal ini merupakan suatu refleksi dari sumber pengetahuan yang bukan hanya perlu dijaga melainkan penerapan yang lebih segmented, khususnya dalam bidang ekonomi agar proses pelaksanaannya dapat sejalan dengan pendekatan ilmiah.

Oleh karna itu, Ekonomi Islam lahir bukanlah sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri melainkan berbagai integral dari agama Islam. Sebagai ajaran hidup yang lengkap, Islam memberikan petunjuk terhadap semua aktifitas manusia, termasuk sistem ekonomi. Metode yang digunakan dalam ekonomi Islam sebagian besar di desain untuk menentukan fallah. Ekonomi Islam merupakan suatu ilmu sosial, seperti halnya ilmu sosial lainnya, dan unit analisis yang tepat untuk ekonomi Islam adalah masyarakat. Karenanya, metodelogi ekonomi Islam lebih fokus pada fenomena ekonomi dan dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari masyarakat ke yang lain.

Maka dari itu, perbincangan ilmu ekonomi islam secara ontologis, membahas dua disiplin ilmu secara bersamaan. Kedua disiplin ilmu tersebut, ilmu ekonomi murni dan ilmu fiqh muamalat. Dengan demikian, dalam operasionalnya ilmu ekonomi islam bersumber dari kedua disiplin ilmu tersebut. Persoalan ontologis yang muncul kemudian adalah bagaimana memadukan antara pemikiran sekuler ilmu ekonomi dengan pemikiran sakral yang terdapat dalam fiqh muamalat.

Untuk itu, yang ingin dipertegas dalam ontologi melalui perkembangan ontologis yakni setiap manusia dalam menjaga keselarasan hubungan dengan manusia lain, alam semesta dan sang pencipta, dilandasi konsep iman dan taqwa yang saling bersinergi sehingga membentuk sikap dan perilaku. Adanya sinergitas membuat kita semakin meningkatkan derajat kualitatif spiritual yang menuju kecerdasan yang tinggi sebagai solusi terhadap permasalahan krisis respiritualisasi pada saat ini.

Krisis respiritualisasi merupakan suatu krisis yang diawali dengan krisis intelektual dengan emosional tertinggi, hal demikian karena dihadapkan dengan tujuan kuantitatif materialistik. Kuantitaif materialistik ini, suatu faham yang berorientasi dengan kebendaan yang menjadi dasar utama tujuan hidup, hal ini menyebabkan bahwa ukuran tertinggi dalam hidup manusia diukur dengan harta dan tahta.

Oleh sebab itu, dengan adanya makna ontologi akan mengingatkan bahwa tujuan manusia dalam hidup bukan hanya diukur dengan kebendaan saja melainkan perlu ditingkatkan derajat kualitatif spiritual dengan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan.

Selanjutnya, konsep ontologi dalam pengetahuan yang menentukan sifat kebenaran dalam pendidikan, tentunya dalam beberapa pemaparan metode, sebagai berikut:

Pertama, Metode Empirik (Empirisme) yaitu mendapatkan pengetahuan melalui pengalaman indrawi. Sedangkan akal pikiran, dipandang sebagai penampung segala apa yang dialami. Cara ini mengandung beberapa unsur, subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui.

Kedua, Metode Rasional (Rasionalisme) yakni Pengetahuan bersumber dari akal pikiran, pengalaman yang dipandang sebagai perangsang akal pikiran. Kebenaran bukan terletak pada diri sesuatu melainkan pada idea. Akal pikiran secara deduktif bekerja untuk mendapatkan pengetahuan yang pasti. Jadi akal pikiran berperan sebagai perantara dan sekaligus sebagai suatu teknik deduktif (penalaran) dalam menentukan kebenaran.

Ketiga, Metode Fenomenologik (Fenomenologisme), menurut Imanuel Khan, bahwa apa yang dapat diketahui tentang sesuatu hal itu hanya gejal-gejala saja, bukan hanya sendiri. Adapun gejala-gejala itu ada hubungannya yang niscaya (pasti) antara sebab dan akibat.

Dengan metode yang diketengahkan di dalam sifat pendidikan, menjadikan manusia untuk bisa menilai sesuatu dalam kehidupan. Berbagai hal yang bisa ditangkap akal, ataupun didapat melalui hal rasionalitas yang diperoleh dari pengalaman, hingga adanya gejala sebab akibat yang ditimbulkan merupakan satu kesatuan yang nyata, dan menjadi suatu kebenaran yang lebih jelas perkembangannya.

Maka dari itu, Agar tidak terjebak dalam suatu konsep ego opportunis, setiap mahluk hidup diarahkan untuk bisa memahami makna ontologis yang dapat menjadi penyeimbang diri antara dunia dan kehidupan dengan sang pencipta sebagai causa prima. (FMI)

Penulis merupakan Mahasiswi Semester Tiga, Prodi Ekonomi Islam dengan Nim 1906060032, di Universitas Nahdatul Ulama, Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *