PULAU SUMBAWA sebuah pulau yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang kaya akan keindahan alam dan sumber daya, kini menghadapi dilema besar. Keberadaan perusahaan tambang raksasa seperti PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT), PT Sumbawa Timur Mining (STM) dan PT Sumbawa Juta Raya (PT. SJR) memunculkan diskursus panas terkait dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan di wilayah tersebut. Meskipun kehadiran tambang sering kali dibalut narasi pembangunan ekonomi, kenyataan di lapangan menunjukkan sisi kelam yang kerap kali diabaikan.
Konsesi Tambang: Janji yang Tak Terpenuhi
Perusahaan seperti AMNT, STM dan PT. SJR sering berjanji akan memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan daerah. Namun, kenyataannya, banyak masyarakat lokal yang merasa tidak mendapatkan manfaat signifikan dari keberadaan tambang ini. Kontribusi royalti yang dijanjikan kerap kali tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang diakibatkan. Selain itu, tingkat pengangguran di sekitar kawasan tambang masih tinggi, menunjukkan minimnya transfer manfaat ekonomi yang dijanjikan.
PT. AMNT juga dianggap sering melanggar ketentuan bahkan terkesan intimidatif. Apabila terdapat pekerja yang melakukan kesalahan, PT. AMNT kerap memutus hubungan kerja secara sepihak, kejadian tersebut berbanding terbalik ketika PT. Newmont masih mengendalikan Tambang Batu Hijau.
Tidak ada yang menginginkan alam itu rusak, tapi di sisi lain rakyat butuh makan. Mereka harus mencari jalan alternatif untuk dapat bertahan hidup. Di tambah lagi pemerintah tidak mampu memberikan akses pekerjaan yang layak bagi masyarakat. Padahal di NTB terdapat industri pertambangan besar seperti PT. AMNT (Amman Mineral Nusa Tenggara) dan sekarang PT. STM (Sumbawa Timur Mining), tapi tidak bisa mengakomodir. Tapi nanti tambang rakyat ini jangan seperti perusahaan ini
Lebih parah lagi, praktik rekrutmen tenaga kerja sering kali tidak memprioritaskan penduduk lokal, sehingga menimbulkan kecemburuan sosial. Banyak warga yang berharap tambang akan menjadi pintu masuk kesejahteraan, namun yang terjadi justru sebaliknya: mereka harus menghadapi polusi, kerusakan lahan,banjir, dan konflik sosial akibat tambang.
Kerusakan Lingkungan yang Mengerikan
Kehadiran AMNT, STM dan PT. SJR telah meninggalkan jejak kerusakan yang sulit dipulihkan. Eksploitasi besar-besaran telah mengubah bentang alam Sumbawa yang sebelumnya hijau menjadi kawasan gersang dan penuh limbah. Penggundulan hutan untuk kepentingan tambang memicu ancaman longsor, erosi, dan berkurangnya kualitas air tanah.
Berdasarkan data Walhi NTB, tercatat sekitar 60 persen dari kawasan hutan di NTB mengalami kerusakan. “Luas kawasan hutan kita 1,1 juta hektare dan 60 persennya itu sekitar 650 ribu hektare. Kerusakan hutan ini disebabkan berbagai proyek pembangunan yang tidak mempertimbangkan aspek lingkungan hidup, termasuk aktivitas pertambangan dan alih fungsi lahan dalam skala besar.
Amri mencontohkan kegiatan pertambangan PT Amman Mineral Nusa Tenggara (PT AMNT) di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB). Perusahaan tambang ini berada di kawasan hutan seluas 7.000 hektare Ditambah lagi PT Sumbawa Timur Mining (PT STM) yang memegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) di Hu’u, Dompu dengan luas 19.260 hektare.
Tambang AMNT, misalnya, menghasilkan limbah tailing yang dibuang ke laut. Kebijakan ini bukan hanya menghancurkan ekosistem laut sekitar, tetapi juga mengancam mata pencaharian nelayan setempat. Belum lagi dampak yang ditimbulkan sejauh keberadaan PT STM, Pemprov NTB maupun Pemda Dompu belum mampu menghadirkan alat pengukur untuk mengetahui kader pencemaran terhadap air laut di sekitar kecamatan Hu,u sebagai tempat pembuangan limbah PT STM.
Dari pemerintah sendiri tidak ada yang mengetahui besar dampak dari pencemaran. Sementara itu, PT. SJR yang bergerak di sektor eksplorasi emas di kawasan hutan adat seringkali dianggap merusak keanekaragaman hayati yang penting bagi masyarakat lokal
Masyarakat Lokal yang Terpinggirkan
Masyarakat adat pulau Sumbawa memiliki hubungan erat dengan alam sebagai sumber penghidupan dan warisan budaya. Namun, izin tambang yang dikeluarkan oleh pemerintah sering kali mengabaikan hak-hak masyarakat adat ini. Alih-alih dilibatkan dalam pengambilan keputusan, mereka justru dipaksa menghadapi realitas pahit: kehilangan lahan, sumber air yang tercemar, dan berkurangnya akses terhadap sumber daya alam.
Perlawanan dari masyarakat kerap kali direspons dengan tindakan represif. Banyak aktivis lingkungan dan masyarakat lokal yang menyuarakan protes harus menghadapi ancaman kriminalisasi. Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan korporasi tambang sering kali melampaui kepentingan masyarakat kecil.
Pemerintah dan Konsesi Izin: Siapa yang Diuntungkan?
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, tampaknya lebih berpihak kepada kepentingan perusahaan ketimbang masyarakat lokal. Konsesi izin tambang yang diberikan sering kali mengabaikan aspek keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Transparansi dalam proses perizinan pun patut dipertanyakan.
Apakah benar bahwa tambang seperti AMNT, STM dan PT. SJR membawa keuntungan yang signifikan bagi masyarakat Pulau Sumbawa? Atau justru yang diuntungkan adalah segelintir elite dan perusahaan multinasional?
Pulau Sumbawa di Persimpangan Jalan
Pulau Sumbawa kini berada di persimpangan jalan. Apakah akan terus membiarkan eksploitasi tambang merusak masa depan generasi mendatang, atau memilih jalan alternatif yang lebih berkelanjutan? Pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya harus berani mengambil sikap tegas.
Keberlanjutan Sumbawa dan Dompu bukan hanya tentang angka-angka pertumbuhan ekonomi, tetapi juga tentang menjaga ekosistem, budaya lokal, dan kesejahteraan masyarakat yang telah hidup harmonis dengan alam selama berabad-abad. Jangan biarkan tambang menjadi cerita tragis yang dikenang oleh generasi mendatang.***
Penulis: Muhammad Farhan (Aktivis NTB)