Oleh: Satria Budi Kusuma (Aktivis HMI)
DUGAAN adanya kenaikan tunjangan anggota DPRD Sumbawa Barat menjadi sorotan. Di tengah kondisi masyarakat yang masih berjuang keluar dari kesulitan ekonomi, serta isu nasional hari ini tentang masa aksi chaos dimana-mana dikarenakan adanya kenaikan tunjangan DPR RI. Kenaikan tunjangan anggota DPRD Sumbawa Barat justru menimbulkan tanda tanya besar: apakah langkah ini benar-benar layak dan memiliki dasar moral yang kuat?
Tunjangan yang Tidak Rasional
Ironisnya, yang dinaikkan adalah tunjangan transportasi. Padahal, tunjangan ini hanya diperuntukkan bagi mobilitas anggota dewan di dalam wilayah Sumbawa Barat, bukan untuk perjalanan ke luar daerah. Sebab untuk perjalanan dinas ke luar daerah, DPRD sudah memiliki pos anggaran tersendiri melalui SPPD. Dengan luas wilayah KSB yang relatif kecil dan jarak tempuh terbatas, sangat tidak masuk akal jika tunjangan transportasi dalam daerah dibebankan hingga Rp17–18 juta per bulan per anggota DPRD. Angka ini berlebihan, bahkan dapat dikategorikan sebagai bentuk pemborosan anggaran daerah.
Kontradiksi dengan Kinerja
Lebih jauh, kebijakan ini tidak sebanding dengan kinerja DPRD KSB yang selama ini justru jauh dari kata maksimal. Menurut informasi yang penulis kumpulkan bahwa masih ada oknum anggota dewan yang lebih sering menghabiskan waktu di tempat hiburan malam ketimbang menjumpai konstituennha. Ada pula yang sibuk menggelar kegiatan seremonial tanpa menyentuh persoalan mendesak masyarakat. Padahal, Sumbawa Barat masih menghadapi berbagai masalah serius: keterbatasan layanan dasar, kesenjangan pembangunan, hingga rendahnya kesejahteraan masyarakat.
Tidak berhenti di sana, publik juga mencatat adanya indikasi maladministrasi dalam proses kerja pansus RPJMD. Proses yang seharusnya menjadi landasan arah pembangunan daerah justru terkesan instan dan dangkal, karena dilakukan semacam dagelan dalam kerja pansus. bahkan tanpa menggali substansi yang menyangkut masa depan masyarakat Sumbawa Barat.
Melukai Rasa Keadilan Sosial
Kenaikan tunjangan ini menegaskan bahwa DPRD lebih sibuk mengurus kenyamanan pribadi daripada memperjuangkan kepentingan rakyat. Di tengah pembangunan dan rencana strategis daerah yang harus dikebut serta komdisi ekonomi masyarakat yang masih sulit, langkah ini jelas tidak memiliki sensitivitas sosial. Alih-alih memperbaiki citra, kebijakan semacam ini hanya melukai hati rakyat dan mencederai rasa keadilan sosial.
Jika DPRD Sumbawa Barat ingin mendapatkan apresiasi lebih, jalan satu-satunya adalah menunjukkan kinerja nyata. Buktikan keberpihakan kepada rakyat, selesaikan masalah mendesak daerah, dan jadilah teladan dalam kesederhanaan. Tunjangan bukanlah tujuan, melainkan konsekuensi dari prestasi dan integritas. Tanpa itu semua, kenaikan tunjangan hanya akan menjadi simbol keserakahan di tengah kesulitan rakyat.***