Fokus Opini

Miq Iqbal Menjadikan Politik Bermakna

×

Miq Iqbal Menjadikan Politik Bermakna

Share this article



Penulis: Pahri Rahman (Ketua Rukun Aktivis Nusa Tenggara Barat)

POLITIK merupakan saluran kesejahteraan. Politik ialah jembatan bagi jalannya sebuah keadilan. Politik adalah jalan yang akseleratif untuk menciptakan suatu bangsa yang maju dan makmur. Karenanya, manusia yang masuk dalam arena politik tugas satu-satunya yang ia miliki hanyalah sebagai pengabdi rakyat. Sebab dengan politik, kemuliaan sosial dan peradaban manusia bisa ditata dengan sebaik-baiknya.

Pada prinsipnya, tujuan politik mampu diwujudkan tatkala aktor politik memiliki kualitas kekhalifahan atau kepemimpinan yang mempuni. Aktor tersebut mesti selaras tujuannya dengan tujuan politik itu sendiri. Bukan politik dijadikan sebagai tujuannya, melainkan politik adalah alat untuk menggapai tujuan dan kehendak bersama. Mewujudkan kehendak bersama inilah yang disebut dengan substansi dari berdemokrasi. Oleh sebab itu, politik membutuhkan energi pengabdian yang besar, jiwa yang besar, dan pikiran yang besar guna menghadirkan kesetaraan dan kesempatan yang sama bagi warga negara. Sebab bangsa ini merupakan bangsa yang besar. Sejatinya membutuhkan pemimpin yang berhati lapang dan bertindak besar.

Ada satu cerita menarik yang membuat kita dapat kembali berharap di tengah turbulensi politik negeri ini. Beberapa waktu yang lalu, seorang jamaah umroh dari pulau Lombok bernama Sofyan Hakim harus menghela nafas berat karena menjadi korban salah tangkap pihak keamanan Arab Saudi. Dianggaplah ia sebagai TKI ilegal. Tepat ketika subuh dini hari waktu setempat, pihak kepolisian menanyakan kelengkapan dokumen milik Sofyan Hakim. Oleh sebab keterbatasan bahasanya, ia tidak dapat menjelaskan kepada aparat bahwa paspor miliknya berada di PT. Amanah NTB, perusahaan travel yang membersamainya selama 14 hari di tanah suci. Pada saat itu juga pihak berwajib harus menangkapnya sesuai prosedur hukum yang berlaku. Menjalani proses pengamanan minimal selama 3 minggu lamanya, waktu yang tidak singkat, tentu peristiwa tersebut menjadi amat manakutkan bagi mereka yang berada di negeri orang, tanpa kemampuan bahasa dan komunikasi sama sekali. Di waktu yang bersamaan, tiket kepulangan ke tanah air juga telah dipesannya. Harga yang mahal bagi ukuran warga kampung pedalaman.

Singkatnya, di tengah situasi semacam itu, mungkin boleh dikatakan situasi keputusasaan, kepasrahan atau apapun itu, seseorang yang bahkan tidak ia kenal, tidak juga pernah ia jumpai sebelumnya apalagi memiliki hubungan kedekatan telah menyelamatkan Sofyan di hari itu juga. Tanpa dimintai bayaran, upah dan tanpa permintaan apapun. Melalui kemampuan diplomasi dan jejaring internasional yang dimiliki, tidak lebih dari 24 jam, apa yang dilakukannya telah banyak membantu Sofyan, membawa kebahagian tersendiri untuk keluarga besarnya. Sosok itu bernama Lalu Muhammad Iqbal, orangnya sederhana, cerdas, santun dan berpihak.


Saat saya menulis artikel ini, saya memiliki keyakinan bahwa kita harus kembali menatap masa depan negeri ini dengan penuh optimisme. Bahwa negeri ini sesungguhnya jauh di tengah euforia politik pencitraan, ternyata masih banyak pemimpin yang hatinya dipandu nilai-nilai luhur, dipandu oleh keinginan untuk memberi, bukan mengambil apalagi mencuri. Cerita sederhana ini sesungguh telah memberikan pelajaran penting bahwa yang kita butuhkan adalah pemimpin yang tidak saja memiliki kemampuan kognitif atau keluasan jejaring semata, bukan juga mereka yang memiliki kemahiran mengakrobatkan kalimat verbatif, jauh daripada itu, yang kita butuhkan adalah kepemimpinan transformatif. Adalah mereka yang dipandu oleh budi pekerti luhur, mereka yang menunjukkan keberpihakannya dari cara ia mengampu amanah dan tanggung jawab.

Kekuataan tata nilai seorang pemimpin ini tidak saja penting, tetapi juga sangat urgent justru di tengah situasi perpolitikan kita yang seolah kehilangan pandu. Politisi memang banyak, partai menjamur, bahkan kita setiap saat dikepung perbincangan yang berujung pada politik. Namun, nyaris kita mengalami kesulitan menemukan pemimpin yang tegak lurus dengan tata nilai keberpihakan, kokoh mempertahankan prinsip, lagi lengkap diimbangi dengan kapasitas intelektualismenya. Bangsa ini memerlukan figur yang memiliki tata nilai yang kuat sebagai simpul perekat atas tenunan sosial kebangsaan kita yang kian retak.

Menilik pandangan Jhon Stuart Mill tentang eksentrisitas karakter, eksentrisitas Miq Iqbal, begitu sapaan akrabnya, terlihat dari paradoks kesederhanaan dan ekselensi pelayanan terhadap masyarakat tanpa pandang bulu. Kemunculannya mengurangi kejenuhan masyarakat di tengah kepemimpinan daerah yang cenderung stagnan. Kehadirannya di tengah rakyat tanpa embel-embel protokoler, perilakunya yang dipandu dengan nilai-nilai berbudi luhur yang kuat dan transendental membangkitkan gairah dari masyarakat untuk bergerak lebih dinamis, etos kerjanya menghidupkan harapan masyarakat terhadap pemimpin yang dapat membawa arah baru bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagai kandidat pemimpin derah pada kontestasi pilkada NTB 2024 saat ini, tidak berlibahan jika masyarakat lintas golongan mengharapkan sosok pemimpin transformatif seperti Miq Iqbal. Bagi saya, Miq Iqbal tidak saja menegaskan dirinya sebagai tokoh yang memiliki kebernasan visi dan kemahiran berdiplomasi, tetapi juga memiliki sense of crisis, terlihat dari responsifitas dan kecepatannya dalam menyelesaikan persoalan yang menyangkut hajat hidup masyarakat luas. Sebagaimana Sofyan Hakim, saya menjadi saksi keberpihakannya terhadap rakyat Nusa Tenggara Barat. Bahwa pendidikan magister yang kini ditempuh adik saya di Universitas Indonesia pun adalah juga merupakan andilnya seorang diplomat kawakan itu, menjadi salah satu iktiar dari keinginannya membangun NTB melalui peningkatan sumber daya manusia.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *