Penulis: Irsan, Mahasiswa IAIH Anjani
SAAT merayakan delapan dekade sejak republik ini mengumandangkan proklamasi kemerdekaan, kita melihat bahwa negara semakin tidak toleran terhadap kritik. Seolah sejarah Orde Baru tak kunjung hilang, kini muncul dalam bentuk baru: sebuah negara demokratis yang tidak nyaman dengan perbedaan pendapat.
Sementara itu, hak untuk mengungkapkan pendapat dijamin dengan jelas dalam konstitusi. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan untuk berorganisasi, berkumpul, dan menyampaikan pendapat”. Bahkan lebih jauh, Pasal 28F memberikan hak atas informasi: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi guna mengembangkan diri dan lingkungan sosialnya”.
Penegasan jaminan konstitusional ini juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya di Pasal 23 dan Pasal 25, yang menggarisbawahi kebebasan berpendapat, termasuk melalui media dan ruang publik. Namun, jaminan tersebut semakin kehilangan maknanya ketika kritik dianggap sebagai ancaman. Dalam lima tahun terakhir, terdapat sejumlah kasus kriminalisasi terhadap aktivis, jurnalis, dan masyarakat biasa yang menyuarakan pendapat mereka, memperlihatkan satu pola yang jelas: negara menciptakan batasan terhadap kritik, bukan jembatan untuk dialog.
UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) – yang seharusnya mendorong pengelolaan digital yang baik – justru berfungsi sebagai alat represif. Pasal 27 ayat (3) mengenai pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat (2) tentang penyebaran kebencian telah menjerat banyak suara yang kritis, meskipun revisi yang dijadwalkan pada 2024 sempat di klaim sebagai perbaikan. Pada kenyataannya, laporan-laporan terus muncul.
SAFEnet mencatat, selama tahun 2025, lebih dari 60 kasus pelanggaran ITE telah melibatkan warga biasa hanya karena memberikan kritik terhadap pejabat publik di media sosial. Kritik dianggap sebagai ucapan kebencian, dan perbedaan pendapat diperlakukan seperti tindakan subversif. Di ruang pengadilan, yang diadili bukan hanya pihak yang terlibat, tetapi juga kebebasan itu sendiri.
Dalam dunia jurnalistik, tekanan semakin terlihat. Media yang tegas seperti Tempo dan Project Multatuli menghadapi ancaman dan intimidasi. Pada Maret 2025, jurnalis Tempo, Francisca Christy Rosana, menerima ancaman berupa kiriman kepala babi dan bangkai tikus ke rumahnya. Hingga kini, penyelidikan belum membuahkan hasil. Negara tidak hadir ketika suara kebenaran terancam.
Presiden Prabowo Subianto dalam berbagai pidatonya menyatakan bahwa kritik merupakan bagian dari demokrasi. Namun dalam praktiknya, pihak berwenang membubarkan diskusi, menghalangi aksi, dan menuduh demonstran sebagai agen asing atau pengganggu stabilitas. Retorika ini bukanlah hal baru, dalam teori otoritarianisme, sebagaimana dijelaskan oleh Levitsky dan Ziblatt dalam buku How Democracies Die, salah satu karakteristik rezim yang secara perlahan membunuh demokrasi adalah rasa takut yang berlebihan terhadap oposisi dan kritikan.
Fenomena delegitimasi publik juga diperkuat oleh penerapan militerisasi dalam birokrasi sipil. Penempatan pejabat militer aktif dalam posisi sipil bertentangan dengan Pasal 39 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang menyatakan bahwa prajurit aktif dilarang menjabat posisi sipil kecuali dalam lima bidang tertentu. Ketika kekuasaan sipil terganggu oleh kemiliteran, ruang sipil akan menyusut, dan suara rakyat semakin tereduksi.
Ruang digital juga bukan lagi tempat yang aman. Aktivis pelajar, buruh, dan petani berada di bawah pengawasan yang ketat. Negara tampak semakin terobsesi mengendalikan narasi: mulai dari pengaturan informasi publik, revisi UU Penyiaran yang mengancam kebebasan jurnalis, hingga rencana kontrol terhadap platform media sosial. Laporan SAFEnet menunjukkan, Indonesia sedang mendekati tahap “otoritarianisme digital” di mana negara tidak hanya mengontrol fisik warganya, tetapi juga pikiran dan pendapat mereka.
Perlu dipahami bahwa Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, yang menuntut pemerintah untuk melindungi hak atas kebebasan berekspresi tanpa adanya diskriminasi. Namun, prinsip-prinsip universal ini kini hanya terlihat sebagai dokumen simbolis tanpa pelaksanaan yang nyata.
Lalu, apa arti kemerdekaan di tengah suasana ketakutan ini? Jika mengungkapkan pendapat berujung pada ancaman penjara, berarti yang terjadi bukanlah demokrasi, melainkan kekuasaan yang ingin terhindar dari gangguan. Negara tampaknya lupa bahwa kritik adalah penyemangat demokrasi, bukan sesuatu yang berbahaya.
Republik ini tidak dapat didirikan di atas keheningan. Kritik adalah hak setiap orang, bukan kesalahan. Suatu negara yang enggan menerima kritik berarti sedang menempuh jalan menuju otoritarianisme, bukan menuju kemajuan. Oleh karena itu, tanggung jawab kita saat ini bukan hanya untuk menjaga agar republik ini tetap ada, tetapi juga memastikan ia berdiri di atas dasar yang adil: konstitusi, hak asasi manusia, serta suara rakyat.
Dengan demikian, Negara seharusnya berusaha untuk memastikan kehadirannya tidak hanya sebatas jargon politik yang dihiasi narasi mengenai kebebasan, melainkan yang perlu dilakukan adalah:
1. Menciptakan Ruang untuk Dialog dan Kritik Secara Terstruktur
Pemerintah harus membuka kembali forum-forum untuk kritik publik, seperti diskusi tentang kebijakan yang bersifat terbuka, debat nasional, dan jurnalisme komunitas. Rakyat tidak boleh hanya berperan sebagai penonton dalam demokrasi yang secara teori adalah milik mereka.
2. Menjamin Perlindungan bagi Jurnalis dan Aktivis
Perlu ada Peraturan Presiden atau Undang-Undang tentang Perlindungan Pembela HAM dan Jurnalis yang menjamin keselamatan dan kebebasan mereka dalam menjalankan tugasnya. Ini termasuk mekanisme respons cepat saat mereka menghadapi ancaman, teror, atau kriminalisasi.
3. Memperkuat Komnas HAM dan Lembaga Pengawas Independen
Komnas HAM dan lembaga pengawas seperti Ombudsman perlu diberikan wewenang yang lebih besar, termasuk kemampuan untuk secara proaktif menyelidiki pelanggaran kebebasan sipil. Negara harus memastikan pengawasan terhadap kekuasaan tidak hanya terjadi di atas kertas.
4. Pendidikan tentang HAM dan Demokrasi untuk Aparat Negara
Polisi, ASN, serta pejabat publik wajib mendapatkan pelatihan rutin yang sesuai dengan standar internasional mengenai hak asasi manusia, kebebasan berekspresi, dan etika dalam menjalankan kekuasaan. Kekuasaan yang tidak menyadari batasannya adalah awal dari penindasan.
Oleh karena itu, seiring dengan menyambut delapan puluh tahun kemerdekaan Indonesia, ini mungkin adalah saat paling kritis di mana negara harus ingat bahwa suara rakyat adalah pendorong bagi kemerdekaan sejati dan bahwa negara perlu sadar dan kembali kepada esensi sejati demokrasi di mana kebebasan untuk berpendapat sepenuhnya dijamin tanpa adanya ketakutan.***