Nasionalpendidikan

Patriarki Sebagai Penindasan Perempuan

×

Patriarki Sebagai Penindasan Perempuan

Share this article

Oleh : Muhammad Dimas Rizal Ar

Apakah dilahirkan sebagai perempuan dikultuskan sebagai makhluk domestik? Atau menjadi manusia kelas dua? Serta tidak memiliki hak-atas dirinya- untuk menentukan peran yang ingin ditempuhnya?. Jika benar, buku karya Dea Safira yang berjudul Menbunuh Hantu-Hantu Patriarki dapat menjadi refrensi bacaan wajib bagi para bigot-bigot.

Buku ini dicetak pertama kalinya dengan cover berwarna putih dengan sedikit warna merah disampingnya, disertai gambar rahang gigi dan simbol lingkaran yang bergantung dirahang gigi bagian bawah. Buku tersebut berisi bunga rampai esai-esai Dea safira yang begitu dekat dengan persoalan-persoalan yang dialami perempuan sekarang ini.

Berawal dari benturan personal yang dialami, dilihat dan dirasakan, Dea menuliskan pengalaman pribadinya untuk dibagikan kepada perempuan yang lain.

Di bawah sistem masyarakat yang patriarki, perempuan adalah makhluk yang rentan mengalami penindasan. Di ruang domestik, perempuan terutama yang bertanggung jawab untuk membesarkan anak-anak, memasak makanan di rumah dan bentuk-bentuk pekerjaan rumah tangga lainnya. Dengan kata lain, mereka melakukan sebagian besar tenaga kerja yang diperlukan untuk membesarkan generasi (anak) dan melayani laki-laki (suami), tanpa menerima satu sen pun untuk pekerjaan mereka. Singkatnya, dalam segala sektor perempuan tidak diuntungkan oleh patriarki.

Lebih lagi, narasi-narasi misoginis terhadap perempuan menjadikan perempuan terasing oleh dirinya sendiri. Perempuan diasumsikan tidak memiliki kapabilitas untuk menjadi seorang pemimpin. Ketika kamu dilahirkan sebagai perempuan, hal yang paling dekat dengannya adalah sebagai makhluk domestik. Peran perempuan, karir maupun pekerjaan perempuan adalah persoalan rumah. Dan rumah adalah ruang aman bagi perempuan.

Semangat perjuangan perempuan dalam buku “Membunuh Hantu-Hantu Patriarki”. Karya Dea Safira. “Kalau ada yang bilang tugas perempuan adalah mengurus dapur, mereka salah. Sejarah perempuan tidak pernah berhenti dalam urusan rumah tangga saja. Dari ribuan tahun, perempuan telah menjadi agen dalam membangun peradaban.”

Dea memparkan, tempat perempuan lebih jauh dibandingkan hanya persoalan dapur. Perempuan memiliki andil yang besar dalam membangun sebuah peadaban. Perempuan turut berpartisipasi dalam membawa keberagaman yang tercipta dari asimilasi dan percampuran antar ragam budaya.


Selain itu persepsi masyarakat yang keliru dalam menilai perempuan telah mendegradasi kedudukan perempuan dalam status sosial. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan dimana klaim inferioritas terhadap perempuan begitu kentara dalam realitas masyarakat. Hal itu juga dibakukan dengan kontruksi sosial dan budaya, yang termanifestasikan dalam norma-norma yang berlaku dalam masyarakat (baik norma keagamaan dan sosial budaya).

Dalam esai-nya yang lain, Dea juga menjelaskan bahwa perempuan seringkali diposisikan sebagai objek hukum, bahkan direduksi sebagai manusia seutuhnya. Intepretasi teks keagamaan misoginis menunjukkan tindakan ikonsisten terhadap misi agama. “Wacana kepemilikian tubuh perempuan oleh laki-laki juga turut diproduksi menggunakan dogma-dogma agama. Padahal, kenyataannya perempuan masih tidak aman dengan misi dari laki-laki. Ini bertentangan dengan misi agama yang memanusiakan perempuan”. Alhasil perempuan rentan mengalami perlakuan diskriminatif.

Dari esai-esai yang dibukukannya, Dea mengulas mengenai patriarki sebagai sistem yang menindas perempuan dalam segala sektor kehidupan. Dea juga tidak luput untuk memaparkan mengguritanya relasi kuasa dalam sebuah percintaan. Dan lagi-lagi perempuan berada dalam posisi yang tidak diuntungkan. Begitupun dengan keterlibatan perempuan dalam organisasi, partai politik dan institusi menempatkan perempuan hanya sebagai pelengkap. Mulai pembawa acara, sekertaris, bendahara, sesi konsumsi semuanya diisi oleh manusia yang berjenis kelamin perempuan.


Selain kritis dan lugas, Dea membawakan karyanya dengan menempatkan perempuan sebagai korban penindasan. Meskipun Dea memberikan pandangan pribadinya, tapi Dea begitu mengena dalam menggambarkan kondisi perempuan dalam pusaran patriarki. Bahkan sangat kaya kompilasi esai-esainya memuat keberagaman isu-isu yang menimpa perempuan. Tepatnya Dea mengulas ketertindasan perempuan secara keseluruhan, baik diranah publik ataupun privat. Dan menempatkan patriarki sebagai dalangnya.


Kompilasi essai-essai dalam bentuk buku ini, juga menyadarkan perempuan bahwa sebenarnya, perempuan tidak bisa dieksploitasi dengan menggunakan teks-teks keagamaan, norma sosial, hukum, dsb. Perempuan berhak menggugat atas kebebasan yang dirampas semena-mena oleh seluruh peraturan yang di-sponsori patriarki.

Konsep patriarki yang semakin hari semakin memangkas ruang gerak hidup perempuan dalam meng-ekspresikan ide, menjadi permasalahan kuat dalam buku yang terbit pada tahun 2019 ini. Kumpulan essai nya ia bukukan dan mampu menjadi api untuk perempuan dalam mendobrak stereotype sosial yang mengurung hak-hak yang dimiliki oleh perempuan.

Yakni, ketertindasan perempuan dari budaya patriarki yang sama sekali tidak menguntungkan, dan tentu saja: me-neraka-kan perempuan, masalah perempuan dengan baju, urusan rumah tangga, hak dalam bekerja, hak dalam berpendapat dimuka umum, dan yang lainnya, membuat buku ini tepat dibaca untuk menyadarkan perempuan bahwa sebenarnya mereka pantas memilih sendiri kehidupan jenis apa yang tepat untuk dirinya, bukan berdasarkan pilihan orang lain.

Judul Buku: Membunuh Hantu-Hantu Patriarki; Penulis: Dea Safira; Penerbit: Jalan Baru, Yogyakarta, 2019 (cetakan pertama); Tebal: 196 halaman.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *