Kegiatan

Ranting Patah (Part 2)

×

Ranting Patah (Part 2)

Share this article

Senja menemani perjalanan pulang gadis yang biasa di panggil Zeevana itu bersama Gafi selepas bertemu Viona dengan scooter kesayangan yang selalu menemani perjalanan sepupunya itu. Langit dengan warna keemasannya menjadi pemandangan terindah kala sore menjelang.

“Dia cantik!” ucap Zeevana berteriak agar suaranya tak tenggelam bersama suara kendaraan yang berlalu lalang membelah jalanan kota di jam pulang kerja.

“Iya. Aku tahu. Dia memang cantik.”

“Ternyata seleramu tidak buruk juga, ya, Gaf. Aku bangga padamu.”

Tawanya lepas begitu saja bersama udara yang telah tercampur polusi dari knalpot kendaraan yang memadati jalanan kota. Ia begitu merasa lucu dengan ucapannya sendiri yang telah membanggakan Gafi bisa mendapatkan gadis secantik Viona.

Namun, tawanya seketika terhenti. Bersamaan dengan scooter tua milik Gafi yang juga ikut berhenti setelah lampu lalu lintas berubah warna menjadi warna merah.

Matanya bertabrakan dengan sepasang mata indah dan teduh. Sepasang retina milik lelaki yang tengah berdiri di bawah pohon depan bengkel legendaris milik Mang Jamal di seberang jalan. Dengan jaket hitam dan celana selutut berwarna senada. Dan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku jaket. Lelaki itu tersenyum tipis. Tipis sekali.

Tak lama. Ia rasakan scooter yang dikemudikan Gafi kian melaju. Membawanya menjauh dari tempat ia menemukan mata teduh itu.

Gafi tertangkap basah tengah memperhatikannya dari kaca spion scooternya.

“Kenapa?” tanya Zeevana dengan alis terangkat sebelahnya.

“Aku tahu siapa laki-laki itu.”

“Apa maksudmu? Aku tak mengerti,” jawab Zeevana berpura-pura.

“Jangan banyak mengelak di hadapanku, Zeevana!”

“Aku sedang tidak berada di hadapanmu, Gafi. Aku duduk di belakangmu. Lihatlah!” ucap Zeevanamengarahkan jari telunjuk didepan wajahnya.

“Bodoh!” umpat Gafi dengan kesal.

Tawa Zeevana kembali pecah dan mengudara. Berhasil membuat Gafi merasaa kesal adalah suatu kemenangan baginya. Dan saat ini, ia tengah menggenggam kemenangan itu. Ia bahagia. Sungguh.

“Tapi, aku tahu kau memang sedang memperhatikannya tadi. Sebab, aku juga memperhatikanmu lewat spion scooterku.”

Zeevana membungkam. Kalah telak.

Gafi benar. Ia memang sempat memperhatikan lelaki itu. Tapi, sebentar saja.

“Aku benar, ‘kan?”

“Iya,” jawab gadis itu polos.

“Kau menyukainya?”

“Tidak!” bantahnya cepat.

“Lalu?”

“Mataku tak sengaja bertabrakan dengan tatapannya. Hanya itu.”

“Benarkah?”

“Tentu. Dan kau sudah tahu sendiri, bukan? Aku bukanlah perempuan yang dengan cepat menaruh hati pada seseorang.”

“Iya. Aku tahu itu. Dan semoga kali ini akan tetap sama.”

“Tentu akan sama,” jawabnya pasti dan melepas helm yang melindungi kepalanya selama dalam perjalanan. Dan sekarang, ia sudah berada tepat dihalaman depan istana mininya. Istana yang sarat dengan kenangan masa kecil yang bahagia.

“Bolehkah ku ulang sekali lagi ucapanku dijalan tadi?”

“Apa?” tanya Zeevana tak mengerti.

“Aku tahu siapa lelaki itu.”

“Aku juga tahu.”

“Tahu darimana?”

“Dia teman mantan kekasihku. Tapi, aku lupa siapa namanya.”

“Oh,” jawab Gafi singkat. Kemudian, berlalu begitu saja dari hadapannya tanpa permisi.

“Dasar manusia setengah jadi!” cibirnya kesal.

Langkah Zeevana mengayun mendekati pintu rumah. Tangannya menggenggam knop pintu. Dan… tunggu dulu. Otaknya memutar kembali kejadian singkat di lampu merah tadi. Mata teduh itu hadir menjadi bayang-bayang. _Bagaimana ini?_

Zeevana mengibaskan tangan didepan wajahnya. Menepis sejauh mungkin bayangan itu dari pikirannya.

“Tidak boleh, Zeevana! Siapapun tidak boleh memasuki hatimu dan menggantikannya. Cukup dia! Hanya dia yang kau miliki kala itu.”

Sebut saja Zeevana adalah perempuan gagal berpindah hati. Enam tahun sudah berlalu setelah keputusan berjalan sendiri ia ambil. Namun, kenyataannya hati tak jua menerima. Sudah beberapa lelaki menjadi kekasihnya setelah lelaki masa lalunya itu. Tetapi, tetap saja. Hati memang tidak untuk di paksakan. Dan lelaki itu masih menjadi pemegang tahta di singgasana ruang terdalamnya.

Lelaki itu selalu membuat Zeevana seperti orang gila dengan tersenyum sendiri saat mengingat kenangan yang mereka ciptakan di masa silam. Kenangan yang sukar untuk di musnahkan oleh perempuan berambut panjang itu.

“Hei!”

Kata itu dan sebuah tepukan ringan yang mendarat di pundaknya meghancurkan lamunan yang menghadirkan sesosok di masa lalunya itu.

“Kenapa berdiam disini? Kau menunggu seseorang?” tanya Gauri.

Gauri. Teman seperjuangannya sejak kecil. Maksudnya, teman berjuang menghabiskan bekal makanan yang selalu dibuatkan Ibu untuk Zeevana. Dan Gauri adalah teman yang paling bisa ia andalkan dalam hal itu dari sekian banyak teman yang ia miliki. Tak heran jika tubuh Gauri dua kali lipat lebih besar dari nya Tetapi, sebenarnya tubuh Gauri memang tidak terlalu besar. Zeevana saja yang menganggap Gauri lebar karena tubuhnya yang… Ah… sebut saja kurus.

Tetapi, gadis itu unggul satu hal dari Gauri. Zeevana jauh lebih tinggi. Dan itu selalu membuat Gauri kesal. Sebab, jika berjalan dengannya dan berbicara. Dengan sangat terpaksa Gauri harus mendongakkan kepala.

“Oh.. Tidak. Aku tidak menunggu siapapun.”

“Lantas untuk apa kau masih berdiri disini?”

“Aku mau masuk. Aku juga baru saja pulang.”

“Oh,” balas Gauri singkat, persis seperti yang dilakukan Gafi.

Zeevana menoleh ke arah sahabatnya yang masih berdiri di belakang. “Untuk apa kau kemari?”

“Terserah aku. Kau lupa, Zee? Kau pernah mengatakan padaku untuk menganggap rumahmu adalah rumahku sendiri. Lantas kenapa sekarang kau bertanya seperti itu padaku?”

Zeevana bungkam mendengar ucapan Gauri. Ia menatap Gauri yang melenggang mendahuluinya memasuki rumah. Gauri memang sudah teriasa di rumah itu. Bahkan, saat Zeevana tak di rumah sekalipun. Gadis berperawakan gemuk itu sudah terbiasa dengan Ibu. Dan juga Ayah Zeevana; dulu sebelum Tuhan memanggilnya untuk kembali pada pelukan-Nya.

“Ada yang ingin kuceritakan padamu,” ucap Gauri sebelum tubuhnya menghilang di balik dinding ruang tamu. Meninggalkan Zeevana yang belum juga beranjak dari tempatnya.

Bersambung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *