“Dor!”
Zeevana menatap aneh layar ponselnya yang menampilkan sebuah pesan masuk dari nomor yang tak dikenalnya pada aplikasi dengan ikon berwarna hijau itu. Alisnya tertaut menjadi satu.
“Oh, dia,” cicit Zeevana setelah dilihat dengan jelas gambar yang terpasang pada profil si pengirim dan melepas ponselnya. Tangannya kembali sibuk menyisir rambut panjang nan hitam pekatnya. Mematut diri didepan meja rias.
Benda persegi itu berdering tiada henti. Zeevana yang sedang sibuk melakukan rutinitasnya merasa sangat terganggu. Ia mendengus kesal dan mengembuskan napas dengan kasar. Dengan berat hati gadis berkulit putih melepaskan sisir dan meraih ponselnya.
“Iya. Kenapa?’ ucapnya tanpa basa basi setelah menscroll layar ponsel untuk menerima panggilan.
“Ini aku yang meminta kontak whatsappmu pagi tadi.” Suara berat dari seberang telepon terdengar lembut di telinga Zeevana. Ia menatap ponselnya dan memperhatikan dengan teliti foto yang ditampilkan. Hal itu membuat ia tanpa sadar menyunggingkan senyum tipis.
“Hallo!”
Suara itu kembali menyadarkan Zeevana. Ia kembali menempelkan ponsel di telinga kanannya. “Iya aku tahu,” jawabnya dengan singkat.
“Aku ingin mengenalmu lebih jauh.”
Alis Zeevana terangkat sebelah. “Rupanya kau sama saja dengan lelaki yang kukenal sebelumnya.”
“Tentu saja tidak,” protes lelaki itu tak terima. “Sebelum itu aku ingin bertemu langsung denganmu. Bagaimana? Apakah kau mengizinkanku?”
Zeevana terdiam. Ia mencoba menimbang-nimbang pertanyaan yang dilontarkan lelaki di seberang telepon.
Namun, belum sempat Zeevana menjawab. Lelaki itu sudah lebih dulu melanjutkan kalimatnya.
“Kapan-kapan aku akan datang ke rumahmu. Karena, aku tahu kamu bukanlah perempuan yang bisa aku ajak bertemu diluar jika tak memiliki alasan yang jelas,” tutur lelaki itu panjang lebar.
Lagi-lagi Zeevana menghela napas panjang. “Bagaimana bisa kau memutuskan sendiri seperti ini?” kesalnya.
Kekesalannya semakin memuncak tatkala ia mendengar tawa kecil lelaki itu. Dan beberapa detik kemudian ia memilih untuk memutuskan sambungan telepon. Tak peduli bagaimana nanti tanggapannya.
Perhatian Zeevana kembali tersita oleh decit suara pintu kamar yang terbuka. Ia dapati tubuh Gauri muncul setengahnya dari balik pintu.
“Kenapa?” tanya Zeevana dengan tatapan bingung. Tak biasanya Gauri datang menemuinya pagi-pagi seperti saat ini.
“Jangan katakan kau melupakan janjimu, Zeevana Auristella Gayatri,” kata Gauri dengan penekanan pada nama Zeevana.
Zeevana mencoba mengingat-ingat janji yang sudah dibuat dengan gadis bertubuh pendek dan gembil itu. Otaknya dengan cepat berputar. Dan, nihil. Ia sama sekali tak mengingat apapun tentang janji yang dimaksud Gauri.
Ia tersenyum lebar, menampakkan deretan gigi putihnya. “Maaf. Aku benar-benar lupa.”
Ditatapnya Gauri yang masih berdiri di ambang pintu kamar. Menepuk keningnya dengan kuat. “Astaga! Belum tua saja kau sudah mulai pikun, Zee.”
Seperti biasa, gadis kelahiran dua puluh dua tahun lalu itu hanya menangggapi dengan senyum lebar tanpa rasa bersalah dan dosa. “Bahkan, aku pun tak menginginkan itu,” imbuhnya santai.
“Aku tahu. Tetapi, itu hanya kebiasaan buruk yang kau pelihara dengan baik.”
Zeevana hanya mengedikkan bahu. Tak peduli.
“Kau sudah berjanji menemaniku datang di acara pesta resepsi pernikahan Kak Zaki.”
Zeevana menepuk keningnya pelan. Tetapi, detik berikutnya ia sudah bersikap santai dan tak acuh. “Kenapa tidak pergi saja dengan si tejomu itu?”
Tatapan tajam Gauri menghujam netra Zeevana. “Sudah ku peringati jangan memanggilnya dengan panggilan itu, Zee. Ah, kau ini.” Gauri terdengar frustasi.
“Lagipula, jika Danial bisa menemaniku. Tentu saja aku tidak akan memintamu.”
Gadis berambut panjang yang masih duduk manis di bibir tempat tidur itu menghela napas panjang. Sebentar ia menatap Gauri yang sudah tampil cantik dengan gaun mewahnya.
“Baiklah. Aku akan menemanimu. Tetapi, berhenti menceramahiku tentang apapun.’
Gauri hanya menganggukkan kepalanya pasrah.
“Satu lagi. Gunakan pakaian yang selayaknya orang-orang kenakan untuk ke pesta. Jangan menggunakan berpakaian seperti biasa. Dan berdandanlah yang cantik,” tambah Gauri seraya beranjak dari pintu menuju tempat tidur Zeevana.
Zeevana melenggang begitu saja tanpa menanggapi sepatah kata pun ucapan sahabatnya, Gauri. Ia sudah sangat paham betul seperti apa manusia sejenis Gauri. Selain bertubuh gemuk dan pendek. Gauri juga manusia yang cukup cerewet.
Di depan sebuah lemari besar dengan motif bunga sakura Zeevana berdiri. Sebentar gadis itu tertegun menatap sederet baju yang tergantung bergitu rapi dan terlipat di dalamnya. Otaknya kembali berputar. Ia bingung harus mengenakan pakaian jenis apa.
Tatapannya menyapu seisi lemari dari atas hingga bawah.
“Apa kau butuh bantuanku, Zee?” tanya Gauri tatkala ia menangkap wajah bingung sahabatnya. Ya, gadis bertubuh gemuk itu cukup tahu, bahwa Zeevana memang tak terlalu pandai dalam memilih pakaian. Asal nyaman, pasti akan dikenakan oleh gadis berambut hitam legam itu.
“Tidak,” balas Zeevana dengan cepat.
“Kau yakin? Aku tahu kau sangat buruk dalam hal ini.”
Gadis itu terdiam. Dalam hati ia sangat membenarkan ucapan Gauri. Karena, ia adalah salah satu jenis manusia penghuni bumi yang tidak ingin ribet.
Cukup lama ia berdiri di depan lemari pakaian. Tatapannya berhenti pada sebuah gaun berwarna merah muda. Gaun pemberian sahabatnya, Fathan.
Melihat gaun tersebut membuat kedua sudut bibir gadis itu terangkat membentuk lengkung cantik. Seketika rasa rindu pun menyeruak di hatinya. Ia rindu manusia yang Tuhan ciptakan dengan tingkah polah yang tak jauh berbeda seperti Gafi. Banyak bicara dan humoris.
“Hanya mencari satu pakaian saja kau begitu lama, Zee.”
Zeevana yakin kali ini Gauri sudah benar-benar kesal di buatnya. Terdengar dari nada bicara Gauri yang menggelegar dan menahan amarah. Zeevana hanya tertawa pelan.
“Aku sudah menemukannya, Gauri. Bersabarlah.”
Terdengar Gauri mengembuskan napas lega. “Baiklah. Sekarang cepatlah berganti pakaian dan merias diri dengan baik.”
Tanpa menimpali Gauri. Zeevana bergegas membawa gaun merah muda itu untuk ia kenakan di kamar mandi. Ia mematut diri di depan cermin dekat wastafel. Ya, meskipun yang terlihat hanya setengah badan saja. Namun, pantulan pada cermin itu tak urung membuatnya tersenyum lebar.
Zeevana kembali melangkah ke luar kamar mandi. Ia berdiri di ambang pintu.
“Gauri, bagaimana?”
Gauri sempat terpana. “Good looking, Zee.”
Senyum lebar itu kembali terbit. Zeevana beranjak ke arah meja rias untuk memoles wajahnya dengan kemampuan yang ia bisa.
Merasa sudah cukup. Ia berjalan mendekati Gauri yang tengah asyik memainkan ponsel sementara gadis itu menunggu.
Gauri menatap Zeevana dari ujung rambut hingga ujung kaki berulang kali. “Wow! Kali ini aku benar-benar mengagumimu. Kau cantik. Dua jempol untukmu, Zee,” ucapnya bangga dengan mengacungkan dua jempolnya ke udara.
“Satu bukti bahwa aku adalah perempuan sejati.” Zeevana tersenyum bangga.
Mendengar ucapan Zeevana membuat Gauri seketika tergelak. “Baru saja kupuji seperti. Kau sudah merasa bangga dan terbang tinggi. Astaga, Zee.”
Zeevana menatap Gauri datar.
“Tetapi, baiklah. kau memang cantik dengan gaun itu. You’re so perfect, Mrs. Gayatri.”
Bersambung….