MATARAM | FMI.COM – Hari bumi internasional yang diperingati pada 22 April 2023 menjadi momentum merefleksi keadaan lingkungan hidup dan melakukan tindakan nyata menjaga bumi, sehingga menjadi tempat yang layak dihuni semua entitas, baik makhluk biotik maupun abiotik.
“Saat ini bumi sedang dalam kondisi sedemikian parah karena terjadinya perubahan iklim,” kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Barat (NTB), Amry Nuryadin melalui keterangan tertulisnya, Minggu 30 April 2023.
Bahkan di indonesia sendiri, kata dia, momentum hari bumi bertepatan dengan tahun politik untuk pemilihan serentak 2024, sehingga diharapkan semua pihak yang berkontestasi nantinya dapat mengurai problem dan solusi terhadap permasalahan lingkungan hidup di Indonesia.
Demikian pula di NTB, jelas dia, problem lingkungan hidup menjadi hal serius yang berhadap-hadapan dengan pembangunan dan investasi di sektor pertambangan dan pariwisata.
Dari sederet pembangunan yang merupakan project maupun program strategis nasional dan investasi, terutama pada sektor pertambangan dan pariwisata di NTB, sebagian besar jauh dari harapan akan mendatangkan berkah bagi rakyat NTB. Justru sebaliknya telah meninggalkan berbagai kerugian dan kerusakan alam, baik di kawasan hutan sampai dengan pesisir.
“Sebagian besar pembangunan di NTB tidak memberikan kontribusi yang signifikan bagi kesejahteraan rakyat, justru berdampak serius hingga terjadinya kerusakan ekologi, perubahan bentang alam baik kawasan hutan maupun pesisir yang mengakibatkan meningkatnya resiko bencana di banyak wilayah NTB,” ujarnya
Amry mengungkap hasil investigasi walhi NTB, tercatat laju kerusakan hutan di NTB telah mencapai 60 persen dari luas hutan di NTB yang disebabkan oleh aktfitas pertambangan, perambahan hutan dan alih fungsi lahan untuk kepentingan pembangunan pariwisata.
“Kami mencatat beberapa pembangunan yang berdampak penting bagi lingkungan hidup sehingga terjadinya kerusakan ekologi dan kehancuran ekosistem diantaranya, pertambangan PT AMNT di Sumbawa Besar, PT STM di Dompu, dan PT AMG di Lombok Timur,” ungkapnya
Tak hanya itu, kata Amry, secara umum jumlah IUP di NTB sebanyak 355 dengan total luas 136.642 haktare, belum lagi maraknya pertambangan illegal di Pulau Lombok dan Sumbawa.
Selain pertambangan, sektor Pariwisata juga mengancam terjadinya kerusakan ekologi, seperti di kawasan pesisir KEK Mandalika seluas 1.250 hektare, rencana pembangunan Global Hub Bandar Kayangan di Kabupaten Lombok Utara seluas 7.030 hektare dan rencana pembangunan kereta gantung di kawasan hutan Rinjani seluas 500 haktare.
Problem pemenuhan hak setiap warganegara untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat tentunya harus menjadi titik berat pembangunan dari segala sektor, akan tetapi niat pencanangan net zero emission tahun 2050 oleh pemerintah NTB berbanding terbalik dengan maraknya penggunaan batu bara dalam pemenuhan pasokan listrik di NTB, secara factual di NTB menggunakan 7 PLTU batu bara sebagai pemenuhan pasokan listrik.
Amry menegaskan, satu PLTU dengan kapasitas 3×25 MW di Desa Taman Ayu Lombok Barat mengoperasikan tiga unit pembangkit dengan kebutuhan batubara sebanyak 500 ton per hari per unit. “Tentu ini akan berdampak serius terhadap kesehatan dan lingkungan apabila 7 PLTU berbahan baku batu bara tidak di pensiunkan di NTB,” katanya
Selain itu, Amry juga mengatakan bahwa masyarakat NTB masih hidup dalam kemiskinan, bahkan termasuk dalam urutan delapan dari sepuluh daerah termiskin di Indonesia.
“Dari beberapa sumber yang diperoleh dan data tahun 2021, angka kemiskinan di NTB sekitar 13,83 persen dari jumlah penduduk atau total penduduk miskin di NTB mencapai 735,30 ribu jiwa,” imbuhnya.***