LOMBOK TIMUR | FMI – Gerakan Aksi Menolak Pajak (Gempa NTB) kembali melakukan konsolidasi tahap kedua untuk menguatkan barisan menjelang aksi besar di Kantor Bupati Lombok Timur yang dijadwalkan berlangsung September ini. Konsolidasi bukan sekadar pertemuan rutin, Gempa NTB memposisikan diri sebagai gerakan rakyat yang menantang kebijakan pajak daerah yang dinilai menindas.
Dua tuntutan tetap menjadi “harga mati”, mencopot Sekda dan Kepala Bapenda Lombok Timur serta mencabut Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 9 yang mengatur Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2).
Masyarakat Tercekik Pajak, Gempa NTB: Opjar Bertindak Seperti Preman
Menurut Gempa NTB, masyarakat di pelosok desa hingga pusat kecamatan kini berada dalam situasi sulit akibat beban pajak yang kian melonjak.
“PBB-P2 yang mestinya jadi instrumen pembangunan, justru dirasakan seperti jeratan. Tim Opjar turun ke lapangan menagih pajak dengan cara-cara yang bikin warga trauma. Tidak sedikit masyarakat yang menyamakan mereka dengan preman berseragam,” ujar salah satu aktivis Gempa.
Sejumlah warga bahkan mengaku kehilangan kesabaran. Dalam konsolidasi, beberapa tokoh masyarakat menyuarakan kekecewaan mendalam terhadap Bupati Lombok Timur. “Kalau Bupati tidak bisa menyelesaikan masalah ini, lebih baik turun saja dari jabatannya,” ucap salah satu tokoh desa yang hadir dengan nada keras.
Estimasi Potensi Kerugian Masyarakat
Berdasarkan data lapangan, jumlah wajib pajak di Lombok Timur diperkirakan mencapai lebih dari 300 ribu kepala keluarga. Jika rata-rata beban PBB-P2 yang ditetapkan dalam Perbup Nomor 9 mencapai Rp300 ribu–Rp500 ribu per KK per tahun, maka total pungutan yang ditarik dari masyarakat bisa menyentuh angka fantastis, yakni sekitar Rp90 miliar hingga Rp150 miliar per tahun.
Bagi petani, buruh, dan pedagang kecil, jumlah tersebut jelas memberatkan. “Bayangkan, di tengah harga gabah dan hasil panen yang tidak menentu, rakyat dipaksa setor hingga ratusan ribu rupiah tiap tahun hanya untuk pajak. Inilah yang kami sebut sebagai penindasan,” tegas Hidayat Koordinator Gempa NTB.
Dugaan Pola Permainan Pajak
Selain masalah pungutan yang membebani rakyat, Gempa NTB juga mencium adanya pola permainan dalam kebijakan pajak daerah. Perbup Nomor 9 yang menjadi dasar pungutan dinilai sarat kepentingan. Tarif yang melambung tinggi justru menyasar masyarakat kecil, sementara pengusaha besar disebut-sebut mendapat perlakuan lebih lunak.
“Ini bukan sekadar soal pungutan pajak, tapi ada dugaan permainan aturan untuk mengisi kas daerah secara instan tanpa memikirkan daya tahan masyarakat. Kita menduga ada makelar dan elit birokrasi yang bermain,” tegasnya
Gelombang Massa Siap Mengepung Kantor Bupati
Konsolidasi tahap kedua ini juga menegaskan bahwa gerakan tidak lagi bersifat simbolik. Gempa NTB memastikan massa akan berdatangan dari seluruh penjuru Lombok Timur. Dukungan yang masif digalang dari berbagai lapisan masyarakat: petani, pedagang kecil, hingga tokoh agama.
“Jika tuntutan tidak dipenuhi, kami pastikan ribuan orang akan mengepung kantor Bupati. Lombok Timur akan menyaksikan bagaimana rakyat bangkit melawan kebijakan zalim,” ujarnya
Ancaman Krisis Legitimasi
Bagi Gempa NTB, aksi September mendatang adalah momentum penentuan: apakah Bupati akan mendengarkan suara rakyat atau justru menutup mata. Tekanan publik yang semakin keras bisa berujung pada krisis legitimasi.
“Ini bukan lagi sekadar persoalan pajak, ini soal kepercayaan publik. Jika Bupati tetap membiarkan, maka bukan tidak mungkin desakan pengunduran diri akan semakin menguat,” pungkasnya
Dengan situasi yang semakin panas, konsolidasi tahap kedua ini seakan menjadi gong pembuka menuju aksi besar. Lombok Timur tampaknya akan memasuki babak baru pertarungan antara rakyat yang tercekik pajak dan pemerintah daerah yang terus memaksakan regulasi.
Sebelumnya Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Lombok Timur, Muksin membantah kenaikan pajak bumi bangunan, pedesaan dan perkotaan (PBB-P2). Menurutnya, pemerintah saat ini, justru menghapus denda wajib pajak dari tahun 2014 hingga 2024.
“Pemerintahan yang sekarang justru memberikan berbagai macam keringanan, bahkan sampai penghapusa denda bagi wajib pajak dalam 10 tahun tunggakannya,” tegas Muksin saat ditemui dikantornya, Selasa 19 Agustus 2025.
Selain menghapus denda, kata Muksin, pemerintah juga menggratiskan PBB-P2 bagi masyarakat miskin. “Masyarakat kita merasa tidak mampu membayar PBB, karena makan saja kualahan, tidak usah bayar pajak,” ujarnya.***