Mataram, FMI – Kasus penahanan IRT dan dua Balita di Lombok Tengah (Loteng) menjadi pembicaraan di Jagad media sosial dan media mainstream, setelah puluhan advokat memberi bantuan hukum. Kali ini, Prof Dr.H. Zainal Asikin, SH, SU menyampaikan surat terbuka untuk Kapolda NTB.
Dalam surat tersebut, Prof Dr.H. Zainal Asikin, SH, SU. menyampaikan bahwa keadilan sangat dibutuhkan oleh ibu-ibu dan anak-anak tersebut. Karena, betapa naifnya jika gara-gara mereka melempar dan atau merusak sebuah gudang atau bangunan yang mungkin dianggap merugikan pengusaha puluhan juta rupiah yang berujung penahanan ibu-ibu dan anaknya yang masih balita.
“Jika memang ada kerugian 4 juta rupiah atau puluhan juta rupiah, maka kami siap mengganti ruginya dengan nilai yang lebih tinggi dan seimbang dengan nilai kesalahan yang dilakukan. Tapi menahan ibu-ibu dengan anaknya, adalah suatu ketidak adilan yang justru dapat meruntuhkan nilai-nilai moralitas penegakan hukum,” tegasnya, Kamis (18/2/21)
Kemanusiaan adalah sebuah cita-cita hukum yang memerlukan semangat persaudaraan dan persatuan, sambung Prof Asikin. Bahwa ibu-ibu yang lugu ini tentunya tidak berlaku seperti itu, (melempar sampai rusak sebuah fasilitas perusahaan), jika tidak dilandasi oleh sebab yang terjadi sebelumnya.
Maka tentunya, patutlah didalami apa sebabnya seorang wanita lugu bersikap seperti itu. Wanita akan berbuat seperti itu, kata Prof Asikin karena merasa perlindungan akan rasa aman dan nyaman tidak diperoleh selama ini atas keberadaan yang berada didekatnya.
Disini pentingnya, “Penyelidikan secara seksama dengan pendekatan kemanusiaan dan hati nurani”. Maka, menahan ibu-ibu dengan bayinya atas sebuah kerugian material yang terlalu kecil bagi seorang pengusaha sangatlah tidak berkesusaian dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
“Kemanfaatan (Utility) apa yang dapat diperoleh dengan melakukan penahanan ibu-ibu dan anak anaknya?,” tanya Prof Asikin dalam surat itu
Bukankah gudang tembakau berada pada lingkungan masyarakat dan setiap hari berinteraksi dengan masyarakat, lanjut Prof Asikin. Tentu penahanan ini justru akan menimbulkan disharmoni antara masyarakat dengan pengusaha.
Lebih lanjut, ia berharap Kapolda NTB menjalankan Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/8/VII/2018 tentang penerapan keadilan restoratif (restorative Justice) dalam penyelesaian perkara pidana.
“Proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, merupakan entry point dari suatu penegakan hukum pidana melalui sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia. Proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana merupakan kunci utama penentuan dapat tidaknya suatu tindak pidana dilanjutkan ke proses penuntutan dan peradilan pidana guna mewujudkan tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dengan tetap mengedepankan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan,” tegasnya
Perkembangan sistem dan metode penegakan hukum di Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan mengikuti perkembangan keadilan masyarakat terutama perkembangan prinsip keadilan restoratif (restorative justice) dengan membebani pelaku kejahatan dengan kesadarannya megakui kesalahan, meminta maaf, dan mengembalikan kerusakan dan kerugian korban seperti semula atau setidaknya menyerupai kondisi semula, yang dapat memenuhi rasa keadilan korban.
Surat edaran kapolri tentang Restorative Justice, lanjut Prof Asikin, inilah yang selanjutnya dijadikan landasan hukum dan pedoman bagi penyelidik dan penyidik Polri yang melaksanakan penyelidikan dan penyidikan. Termasuk sebagai jaminan perlindungan hukum serta pengawasan pengendalian, dalam penerapan prinsip keadilan restoratif (restorative justice) dalam konsep penyelidikan dan penyidikan tindak pidana demi mewujudkan kepentingan umum dan rasa keadilan masyarakat, sehingga dapat mewujudkan keseragaman pemahaman dan penerapan keadilan restoratif (restorative justice) di lingkungan polri.
“Metode penyelesaian perkara pidana yang mencerminkan penerapan prinsip keadilan restoratif (restorative justice) yang dapat dijadikan acuan dalam penerapan prinsip keadilan restoratif (restorative justice) terhadap perkara pidana, adalah juga mengacu pada Pasal 16 ayat (1) huruf L dan Pasal 18 Undang Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Pasal 5 ayat (1) angka 4 Undang Undang No.08 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,” pungkasnya
Pedoman penanganan penyelesaian perkara dengan pendekatan restorative justice adalah sebagai berikut: Tidak menimbulkan keresahan masyarakat dan tidak ada penolakan masyarakat. Tidak berdampak konflik sosial. Adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk tidak keberatan, dan melepaskan hak menuntutnya dihadapan hukum. Prinsip pembatas lainnya bahwa pada pelaku : Tindak kesalahan pelaku relatif tidak berat, yakni kesalahan (schuld) atau mensrea dalam bentuk kesengajaan (dolus atau opzet) terutama kesengajaan sebagai maksud atau tujuan (opzet als oogmerk); dan Pelaku bukan residivis.
Berdasarkan alasan alasan di atas, kata Prof Asikin mengingat tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat dan kami masyarakat lainya bersedia menjadi penjamin bahkan bersedia memberikan ganti rugi. Demi kedamaian bersama dan keberlanjutkan iklim berusaha pada wilayah sekitar, maka alangkah pantasnya Kapolda berkenan menerapkan “restoratif justice” dalam perkara ibu-ibu dan anak-anak yang sekarang ditahan pada tahanan Polres Lombok Tengah.
“Demikian surat tebuka ini saya sampaikan, dan atas kebijakan dan kebaikan hati bapak kami ucapkan terimakasih,” tutupnya
Redaksi-FMI