Oleh : _ynurnun_
Yang ku kenang, pahlawan negeriku. Yang ku bahagiakan, pahlawan hidupku. Ialah perempuan hebat bergelar, Mama.
Pagi-pagi sekali. Saat sang baskara masih dengan malu-malu menampakkan semburat jingganya di ufuk Timur. Saat sisa-sisa embun semalam masih bermanja ria di kaca jendela. Juga saat para ayam jantan dengan ragu berkokok.
Denting alat dapur sudah mulai terdengar. Aroma masakan yang sudah mulai menyeruak dari arah dapur rumahku, juga dapur-dapur tetangga begitu mengganggu indera penciumanku. Tubuhku yang masih meringkuk sempurna bersama selimut diatas tempat tidur minimalis terhipnotis bergerak, menggeliat. Mataku perlahan terbuka. Sedikit menyipit untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina.
Di atas meja kecil samping tempat tidur aku melihat jam weker doraemon menunjukkan pukul lima pagi. Masih sangat pagi sekali untukku. Namun, tidak untuk sesosok wanita paruh baya yang selalu menjadi panutan dan tapak harapanku. Wanita dengan wajah yang beranjak keriput termakan usia, yang memperkenalkanku pada semesta dua puluh dua tahun silam. Wanita kuat dan tangguh yang selalu menyokongku dengan semangat luar biasa saat rapuh menyergapku tanpa ampun.
Masih dengan rasa kantuk yang luar biasa. Aku memaksa diri dan kaki melangkah walau sedikit terhuyung. Sungguh. Aroma masakan wanita yang kupanggil Mama itu selalu sukses mengalihkan fokusku dari apapun juga, selalu membuat nafsu makanku memuncak tak terkendali. Bukan hanya karena rasanya yang menggugah selera. Namun, ada cinta yang tertuang di setiap masakan Mama. Membuatku mau tak mau harus memutar otakku untuk bernostalgia pada kejadian-kejadian beberapa waktu silam. Saat keluarga kecil yang kusebut surga masih lengkap dengan kehadiran Papa. Sebelum Papa direnggut paksa perempuan yang disebut sahabat oleh Mama.
Langkahku terhenti pada jarak dua meter dari Mama yang tengah berdiri di depan wastafel. Membersihkan sayur mayur yang akan disulapnya menjadi masakan istimewa di pagi hari. Telingaku dengan sempurna mendengar senandung ria dari bibir Mama. Tentu saja hal itu membuatku tak kuasa menahan diri untuk tidak menarik ujung bibirku membentuk lengkungan.
“Aleta!”
Aku tersentak dengan panggilan Mama. Sedikit. Kemudian, kembali tersenyum.
Oh, iya. Namaku Aleta Quenby Elvina. Orang-orang biasa memanggilku, Aleta.
Mama sendiri yang menyematkan nama itu untukku tepat pada hari ke empat puluh empat aku melihat dunia. Dengan harapan aku tumbuh menjadi wanita berjiwa pemimpin yang memiliki sifat bijaksana. Melindungi banyak orang seperti malaikat bersayap. Begitu yang ku dengar dari cerita Mama. Cerita yang tak pernah ku dengar. Bahkan, hampir setiap malam sebagai dongeng pengantar tidurku.
“Kemarilah! Mama membuatkan makanan kesukaanmu. Nasi goreng spesial.”
Perlahan langkahku mengalun mendekati Mama yang tak beranjak dari tempatnya. Di tangannya sudah ada nasi goreng spesial yang selalu disuguhkan untukku setiap paginya. Maksudku, spesial adalah spesial hanya untukku. Bukan nasi goreng spesial dengan ayam suir dan telur dadar diatasnya, tak lupa potongan mentimun segar. Bukan.
Mama memang selalu begitu. Mengistimewakanku dengan segala keistimewaan yang bisa ia lakukan. Tak hanya itu, Mama adalah kesempurnaan yang aku miliki di dunia ini. Tiada pengganti dan tak akan terganti.
Banyak hal istimewa yang ingin ku ceritakan tentang perempuan paruh baya yang ku panggil Mama ini. Perempuan yang bertaruh nyawa hanya untuk melahirkanku. Bayi perempuan kecil mungil yang sudah berkembang didalam rahimnya selama sembilan bulan sepuluh hari. Berjuang melawan sakit luar biasa saat kontaksi dimulai. Nyawa. Sudah tak lagi di pikirkannya. Baginya, berjuang demi mengenalkanku pada dunia adalah hal terpenting. Biar kelak aku tahu. Bagaimana berjuang dalam kehidupan nyata di panggung sandiwara. Dan itulah cerita yang ku dengar dari Papa sebelum meninggalkan kami.
Tak hanya itu. Satu kejadian yang tak bisa ku musnahkan dari otakku adalah tentang kekuatan yang tertanam dalam diri Mama. Bagaimana ia terlihat begitu tegar dan kuat menatap kepergian Papa dengan menggandeng tangan perempuan lain di hadapannya. Aku masih ingat betul, bagaimana Mama berusaha tersenyum hingga matanya tampak menyipit. Itu dilakukan hanya untuk membuat Aleta kecil tak ikut menangis ditinggalkan Papa.
Terasa jelas elusan lembut tangannya di puncak kepalaku. Duduk di depanku dan memegang pundakku erat-erat. “Tidak perlu bersedih. Ada Mama yang akan selalu menjagamu. Anpapun yang terjadi nantinya, Mama akan menjadi orang pertama yang merengkuhmu.” Kemudian, memelukku dengan erat.
“Kemana Papa akan pergi, Ma?”
“Papa akan mencari kebahagiaannya sendiri. Dan kebahagianmu, Mama yang akan memperjuangkannya.”
Setelah hari itu. Aku tak pernah lagi melihat sosok Papa datang. Meski hanya sekedar menengokku barang sebentar.
Tak berhenti disana. Kejadian demi kejadian datang tanpa permisi dan ganas menyergapku. Kejadian yang berhasil mencabik-cabik ulu hatiku. Kejadian dimana orang-orang memandangku sebelah mata hanya karena berprofesi sebagai penjaga toko. Bahkan, lebih parahnya. Isu yang beredar dan tertangkap indera pendengaran bahwa aku adalah salah seorang kupu-kupu malam. Itu berhasil membuatku terjatuh hingga titik terendah.
Namun, lagi-lagi Mama yang selalu merengkuhku dalam dekap hangat kasih sayangnya. Menasihatiku dengan aksara-aksara yang menjelma menjadi diksi indah dan mengalir dari bibir ranumnya. Membuatku berhasil bangkit perlahan dan berjalan kembali walau sedikit tertatih.
Mama. Sesosok perempuan tangguh yang dengan baik hati Tuhan ciptakan untuk menemani hidupku. Menuntun jalanku pada setiap tapak yang ku pijaki. Perempuan kuat yang dengan sukarela mengeluarkan peluhnya untuk menghidupiku. Menyita waktunya untuk mengurusiku.
Mama memang yang sebenar-benarnya pahlawan dalam hidupku. Aku masih ingat betul saat kejadian dimana lelaki yang kusebut calon suami direnggut perempuan lain dari genggamanku. Kejadian yang membuatku menjadi manusia rapuh dan tak normal. Karena, aku yang tak setegar Mama melepaskan orang ku sayang dengan begitu saja.
Namun, dengan sabar Mama kembali memberiku petuah. Mengajakku berpikir, bahwa apa yang ku inginkan tak selalu bisa ku dapatkan. Mengingatkan bahwa Tuhan mengambil apa yang sudah ku genggam hanya untuk diganti dengan yang lebih baik. Mama mengajariku bagaimana menyikapi setiap problema hidup dengan bijak. Hingga, aku tercipta kembali menjadi manusia kuat. Meskipun jelas tak sekuat Mama.
Setiap kepingan kejadian yang diputar dalam memori otakku itu selalu sukses membuat genangan pada kelopak mataku. Membuat tatapanku kian memburam.
“Aleta,” panggil Mama membuyarkan dunia yang aku ciptakan sendiri. Dengan cepat aku menyeka setetes air mata yang berhasil lolos menembus pertahanannya. Aku mendongakkan kepala agar tak ada lagi tetesan lain yang mengekori.
Manusia baik di hadapanku ini tanpa diminta memelukku erat. Mengelus punggungku dengan segala kelembutan yang dimilikinya. Ia bahkan begitu memahamiku tanpa aku mengeluarkan sepatah katapun.
Derai yang sempat ku tahan pun kini mengalir deras. Membasahi pipiku dan daster rumahan yang dikenakan Mama. Belaian lembut di puncak kepalaku semakin terasa. Ada rasa berbeda yang takkan pernah ku dapatkan di tempat manapun.
“Sudahlah, Aleta. Berhenti bersedih seperti itu. Ingat! Kau hidup untuk masa depan. Bukan untuk masa lalu,”
Ah, Mama selalu saja seperti itu. Selalu menasihatiku dengan petuah bijaknya.
Aku menghela napas panjang. Menghapus sisa-sisa air mata dengan kasar. Kemudian, kembali melanjutkan menyantap nasi goreng spesial buatan Mama.