MATARAM | FMI.COM – Wahana lingkungan hidup indonesia provinsi nusa tenggara barat (Walhi NTB) menggelar konsolidasi fungsionaris bersama 32 lembaga anggota melalui forum KDLH pada Jum’at 3 Februari 2023.
Dalam kegiatan tersebut, selain melakukan evaluasi program kerja yang merupakan mandat organisasi sesuai dengan Statuta Walhi, juga melakukan perencanaan dalam menjalankan kerja-kerja penyelamatan lingkungan hidup di NTB tahun 2023.
Sehingga dalam konsolidasi fungsionaris itu, menurut Direktur Walhi NTB, Amri Nuryadin memandang bahwa proyeksi pembangunan dan investasi di NTB memberikan kontribusi kerusakan terhadap lingkungan hidup, baik di kawasan hutan, pesisir, pulau-pulau kecil maupun terhadap lahan pertanian produktif. Sehingga menyebabkan laju kerusakan hutan dan lahan kritis sangat tinggi di NTB.
Data hasil investigasi Walhi NTB, tercatat bahwa laju kerusakan hutan telah mencapai 50 persen dari luas kawasan hutan yang ada atau sekitar 550,000 hektare dari 1,1 juta hektare kawasan hutan NTB.
“Ancaman perusakan lingkungan dikawasan hutan terutama disebabkan oleh operasi tambang dan alih fungsi lahan dalam skala besar, baik diwilayah hutan maupun pesisir,” katanya melalui keterangan resminya, Jumat 3 Februari 2023.
Sejumlah pertambangan besar yang menguasai lahan dalam wilayah hutan dan pesisir, jelas dia, diantaranya PT. Aman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) dengan luas 125.341,42 hektar di Kabupaten Sumbawa Barat.
Kemudian industri tambang yang sedang memulai eksplorasinya, lanjut dia, yaitu PT. STM dengan memegang izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) di kecamatan Hu’u, kabupaten Dompu dengan luas 19.260 hektar.
Selain itu, terdapat juga Proyek Smelter di Kabupaten Sumbawa Barat yang digadang akan dibangun oleh dua perusahaan besar, yaitu PT. CHina Nonferrous Meta Industry Foreign Engineering Construction Co., Ltd (NFI) dan PT. PIL Indonesia.
Selain pertambangan berizin, kata dia, di NTB juga tercatat maraknya illegal mining atau tambang illegal seperti di Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, Sumbawa Barat dan Sumbawa. “Ini penyebab terjadinya kerusakan hutan dan ekologi yang menyebabkan bencana banjir di banyak wilayah di NTB,” cetusnya
Masih kata dia mengatakan, salah satu investasi yang digadang-gadang oleh Pemerintah Provinsi akan mendatangkan berkah bagi pariwisata NTB adalah pembangunan kereta gantung di kawasan hutan rinjani (RTK 1) dengan luas areal 500 hektare, beserta pembangunan infrastruktur dan rencana pembangunan resort, termasuk di dalamnya akan memanfaatkan lahan yang di kelola oleh masyarakat petani dalam skema perhutanan sosial baik itu Hutan Kemasyarakatan maupun TAHURA dengan nilai investasi sebesar 2,2 Trilyun Rupiah.
Demikian pula, kata dia, makin parahnya kerusakan ekologi di pesisir karena alih fungsi lahan untuk investasi baik itu pariwisata, tambak udang, budidaya mutiara skala besar seperti PT Autore Pearl Culture di Jerowaru dan program strategis nasional yaitu kawasan ekonomi khusus mandalika menjadi bagian terpenting untuk diperhatikan bersama dalam menjaga dan memperjuangkan kelestarian lingkungan hidup di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil NTB.
“Kondisi yang terjadi pada proses pembangunan dan investasi di NTB diperparah lagi dengan adanya beberapa regulasi di tingkat nasional yaitu Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Ciptakerja yang memberikan keleluasaan bagi invetasi tanpa memperhatikan keadilan ekologis dan perlindungan terhadap sumber-sumber penghidupan rakyat baik di kawasan hutan maupun di pesisir,” ujarnya
Amri sapaan akrabnya mengatakan, penegakan hak-hak rakyat untuk mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat dijamin dalam UU Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Salah satu hal terburuk dalam lingkungan hidup di NTB, kata Amri, berdasarkan hasil investigasi pihaknya menemukan fakta bahwa sebagian besar sungai-sungai di NTB telah tercemar oleh mikroplastik akibat dari tatakelola sampah dan program pemerintah dalam pengelolaan sampah yang tidak memberikan perlindungan bagi kehidupan rakyat.
Dari sekelumit persoalan lingkungan hidup di NTB, demi penegakan kedaulatan rakyat atas sumber‐sumber kehidupan rakyat baik itu di kawasan hutan, pesisir dan pulau-pulau kecil serta pengawalan keadilan ekologis, maka Walhi NTB menyatakan sikap.
1. Pemerintah NTB harus melakukan moratorium dan evaluasi terhadap perizinan investasi pertambangan dan pariwisata di kawasan hutan, pesisir dan pulau-pulau kecil di NTB.
2. pemerintah NTB bersama perusahaan-perusahaan harus melakukan pemulihan kawasan hutan, pesisir dan pulau-pulau kecil dari kerusakan ekologi yang diakibatkan oleh pertambangan dan pariwisata di NTB.
3. Negara harus memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap wilayah kelola rakyat dan sumber-sumber penghidupan rakyat di NTB
4. Pemerintah NTB harus segera melakukan pemulihan sungai-sungai di ntb yang tercemar mikroplastik.
5. Pemerintah harus memberikan perlindungan terhadap warga terutama bagi perempuan dan anak-anak yang terdampak pembangunan dan investasi pertambangan dan pariwisata.
6. Pemerintah harus menindak tegas pelaku perusak lingkungan hidup di NTB berdasarkan undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
7. WALHI NTB akan memonitor, mengontrol dan mengevaluasi semua proyek pembangunan , pertambangan, pariwisata, penyelamatan hutan, pesisir dan pulau-pulau kecil di NTB secara berkala.***