MATARAM | FMI.COM – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Barat (NTB) menegaskan bahwa, hingga saat ini Aparat Penegak Hukum (APH) belum mengungkapkan kejelasan informasi terkait peristiwa terbakarnya kapal tangker MT Kristin di perairan Ampenan, Kota Mataram.
Sebelumnya, kapal tanker berukuran besar yang terbakar beberapa Minggu lalu, diketahui memuat bahan bakar minyak (BBM) sebanyak 5.900 Kiloliter.
Terkait hal itu, menurut Amry Nuryadin, publik harus diberikan informasi dan pengetahuan termasuk khususnya kepada nelayan dan warga dipantai Ampenan sebagai bagian dari memberikan perlindungan terhadap ruang-ruang hidup nelayan di laut dan ekosistem laut.
“Tentunya bagi nelayan adalah menjamin keamanan serta keselamatannya untuk mencari ikan. Untuk itu implementasi penegakan hukum di laut terkait persitiwa tersebut haruslah segera dituntaskan sebagaimana diatur dalam BAB Penegakan Hukum pada pasal 22 sampai dengan pasal 26 dalam peraturan pemerintah republik indonesia Nomor 13 tahun 2022 tentang penyelenggaran keamanan, keselamatan, dan penegakan hukum di wilayah perairan indonesia dan wilayah yurisdiksi indonesia,” ujarnya.
Tak hanya itu, adapun secara khusus dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang perkapalan mengatur pula terkait perlindungan terhadap bahaya kebakaran sebagaimana diatur pada pasal 68.
Disebutnya, rancang bangun kapal harus dikonstruksikan dalam zona-zona vertikal utama dan horisontal untuk perlindungan terhadap bahaya kebakaran dan dilengkapi dengan alat deteksi atau perangkat penemu kebakaran yang dipasang secara tetap dan memenuhi persyaratan.
Selain itu, tegas dia, fokus observasi Walhi NTB adalah melakukan pengamatan terkait dengan ada atau tidaknya hal-hal yang dapat menimbulkan dampak serius terhadap lingkungan hidup. Terutama terkait ruang tangkap nelayan dan dampak terhadap ekosistem pada ruang laut yang ada disekitar wilayah kejadian.
Terkait dengan itu, kata dia, tentunya harus dijaga dari aktivitas yang berdampak penting bagi lingkungan hidup sebagaimana yang diatur dalam UU RI Nomor 32 Tahun 2014 tentang kelautan, UU RI 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 1 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk pula regulasi terkait aktivitas perkapalan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah RI No. 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan.
Ruang tangkap nelayan sebagai wilayah kelola dan sumber penghidupan rakyat pesisir, jelas dia, haruslah mendapatkan kedaulatan dan perlindungan dari aktivitas yang berdampak penting bagi lingkungan hidup dalam hal ini ruang laut dan ekosistemnya.
“Terlebih terhadap kejadian terbakarnya kapal MT Kristin yang mendistribusikan BBM dalam jumlah yang sangat besar tentunya Depot Pertamina Ampenan atau Pertamina secara umum bersama aparat penegak hukum harus menjelaskan kepada publik terkait peristiwa tersebut, baik itu dari penyebab terjadinya peristiwa kebakaran MT Kristin, kemungkinan dampak serius yang dapat disebabkan oleh peristiwa tersebut sebagai “Early Warning System” atau peringatan dini,” ungkapnya.
Menemukan para korban dan memberikan pertanggung jawaban bagi keluarga korban adalah hal yang sangat penting dilakukan pula oleh pihak terkait.
Pasca kejadian tersebut, Walhi NTB menegaskan bahwa pemerintah harus memberikan jaminan keamanan dan keselamatan kepada ratusan nelayan yang memiliki sekitar 500 perahu dalam beraktivitas ekonomi di pesisir dan laut Ampenan dari kejadian serupa dikemudian hari, sehingga APH harus menuntaskan penegakan hukum atas kejaidan terbakarnya MT Krtistin.
Demikian pula, kata Amry, pertamina harus bertanggung jawab atas kejadian tersebut sebagai bagian dari tanggungjawab perusahaan yang melakukan aktifitas usaha yang berdampak penting bagi Lingkungan Hidup sebagaimana diatur dalam UU RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Sebab menurutnya, pemerintah telah diberikan mandat untuk menyusun skema perlindungan dan pemberdayaan nelayan, sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam sehingga dalam rangka perlindungan nelayan termasuk jaminan keamanan dan keselamatan serta perlindungan terhadap ekosistem.
“Maka penting pemerintah untuk menetapkan zona tangkap nelayan tradisional di pulau-pulau kecil termasuk di pesisir ampenan dan menetapkan zona lindung ekosistem esensial di pulau-pulau kecil termasuk di NTB,” cetusnya.***