LOMBOK TIMUR | FMI – Sejumlah petani di Desa Sakra, Kecamatan Sakra, Lombok Timur mengeluh terkait dengan penjualan pupuk subsidi di atas harga eceran tertinggi (HET). Keluhan petani tersebut direspon langsung pihak Dinas Pertanian melalui PPL Sakra, dengan langsung lakukan pertemuan.
Dalam pertemuan yang berlangsung, Kamis 13 Februari 2025, para petani menyampaikan keluhannya depan pihak dinas, mereka mengungkapkan persekongkolan ketua kelompok tani dengan pengecer yang menetapkan harga di atas HET, dengan membuat surat pernyataan pada 3 Januari 2022 lalu.
Surat pernyataan yang ditandatangani semua ketua kelompok tani itu, bunyinya harga pupuk subsidi Urea dan Phonska sama-sama dihargakan Rp.3000 perkilogram. Petani tidak merasa keberatan asalkan pupuk tetap diterima dilokasi dan sesuai dengan jumlah subsidi yang diberikan oleh pihak pemerintah.
Kenyataan para petani mengaku awalnya tidak mengetahui terkait surat pernyataan itu. Bahkan mereka membongkar bobroknya sistem penebusan pupuk subsidi, dimana petani menembus langsung ke pengecer, tidak sesuai dengan surat pernyataan dimana petani terima pupuk dilokasi, bahkan dipaksakan dengan skema gandeng dengan pupuk nonsubsidi.
“Kita langsung tebus pupuk ke kios pengecer, dan kita ambil sendiri, bahkan kita dipaksa tebus dengan sistem gandeng dengan yang non subsidi. Kalau tidak gandeng kita tidak dikasih. Lebih parah lagi, pengecer memberikan tenggat waktu, kalau kita lewat dari waktu yang sudah ditentukan, kita tidak dapat pupuk,” cerita salah seorang petani usai pertemuan.
Sementara itu, PPL Sakra, Safiudin mengatakan, dalam pertemuan kelompok tani yang digelar hari ini menghasilkan keputusan penting terkait restrukturisasi kepengurusan. Pergantian ini dilakukan karena kepengurusan lama dinilai sudah tidak produktif, mengingat beberapa pengurus telah berusia lebih dari 90 tahun.
“Keputusan ini disepakati bersama mengingat peran strategis kelompok tani sebagai simpul informasi dan koordinasi antara petani, PPL, dan pihak terkait lainnya,” katanya.
Selain membahas restrukturisasi kepengurusan, salah satu persoalan yang mencuat dalam diskusi adalah harga pupuk yang dijual oleh pengecer dengan harga yang lebih tinggi dari harga eceran tertinggi (HET).
“Beberapa petani melaporkan bahwa harga pupuk yang seharusnya Rp225.000 per sak bisa mencapai Rp300.000 di tingkat pengecer. Meskipun petani bisa menebus pupuk langsung tanpa biaya transportasi tambahan, namun harga tinggi ini tetap menjadi keluhan utama,” ujarnya
Dikatakannya, PPL sebagai pendamping kelompok tani tidak bisa mengawasi langsung transaksi pupuk antara petani dan pengecer. Namun, kata dia, pihaknya tetap berupaya memastikan ketersediaan pupuk agar petani tidak mengalami kesulitan dalam budidaya pertanian.
Dalam diskusi juga disinggung bahwa kenaikan harga pupuk di atas HET dapat terjadi jika ada kesepakatan antara kelompok tani dan pengecer, terutama jika dana tambahan tersebut dialokasikan untuk kas kelompok atau biaya transportasi. Namun, mekanisme ini harus dibicarakan lebih lanjut agar tidak merugikan petani.
Dengan adanya pertemuan ini, diharapkan kelompok tani bisa semakin solid dalam mengelola pertanian dan menghadapi tantangan terkait distribusi pupuk dan kebutuhan pertanian lainnya.***